BAB I PENDAHULUAN
Sistem politik Islam memang berbeda dengan sistem-sistem politik lainnya. Satu hal yang paling penting dalam sistem politik Islam adalah bahwa kedaulatan itu tidak di tangan rakyat ataupun kepala negara (khalifah), tetapi di tangan syarak (aturan dan hukum Islam). Sementara itu, kekuasaan khalifah adalah untuk melaksanakan dan menerapkan hukum syariat Islam.
Sistem pemerintahan Islam dimulai sejak zaman Rasulullah SAW. Semua pemikir Muslim sepakat bahwa Madinah merupakan contoh negara Islam pertama. Tugas Rasulullah SAW adalah memimpin masyarakat Islam sebagai utusan Allah SWT dan kepala negara Islam Madinah.
Masalah negara merupakan urusan duniawi yang bersifat umum, karena itu ia termasuk wilayah ijtihad umat Islam. Mereka harus berusaha untuk menjadikan al-Qur'ân sebagai sistem yang konkrit supaya dapat diterjemahkan dalam pemerintahan sepanjang zaman. Dalam rangka menyusun teori politik mengenai konsep negara yang ditekankan bukanlah struktur "negara Islam", melainkan substruktur dan tujuannya. Struktur negara termasuk wilayah ijtihad kaum muslimin sehingga bisa berubah. Sementara substruktur dan tujuannya tetap menyangkut prinsip-prinsip bernegara secara Islami. Namun penting untuk dicatat, bahwa al-Qur'ân mengandung nilai-nilai dan ajaran yang bersifat etis mengenai aktifitas sosial-politik umat manusia. Ajaran ini mencakup prinsip-prinsip tentang keadilan, persamaan, persaudaraan, musyawarah, dan lain-lain.
Kesimpulan yang terlalu gegabah jika Islam (al-Qur'ân) dikatakan agama yang hanya mengatur persoalan ritual semata. Islam adalah agama universal, agama yang membawa misi rahmatan lil âlamîn. Islam juga memberikan konsep kepada manusia mengenai persoalan yang terkait dengan urusan duniawi, seperti, bagaimana mengatur sistem perekonomian, penegakan hukum, konsep politik, dan sebagainya. Salah satu bukti tercatat dalam sejarah, ketika Nabi hijrah ke kota Madinah beliau mampu menyatukan masyarakat yang majemuk, terdiri dari berbagai agama dan peradaban yang berbeda dalam satu tatanan masyarakat madani. Dan perjanjian yang beliau deklarasikan dengan orang-orang Yahudi adalah satu cermin terbentuknya negara yang berciri demokrasi. Perjanjian itu mengandung kebijaksanaan politik Nabi untuk menciptakan kestabilanbernegara.
Politik yang dimaksud, sebagaimana ungkap Ramlan Surbakti dimaknai sebagai upaya manusia meraih kesempurnaannya atau perjalanan menuju kemaslahatan. Atau, dalam bahasa Aristoteles mengajarkan bagaimana bertindak tepat dan hidup bahagia. Dengan pemahaman ini, politik bernilai luhur, sakral dan tidak bertentangan dengan agama. Setiap manusia yang beragama niscaya berpolitik. Karena itu berpolitik merupakan sesuatu yang inheren dengan kemanusiaan.
Pemikiran politik di kalangan umat Islam, khususnya dalam sistem pergantian kepala negara (khalîfah) mencuat pada saat Nabi saw wafat. Munculnya pemikiran di bidang ini paling awal jika dibandingkan dengan pemikiran dalam bidang teologi dan hukum. Sebab, kebutuhan akan adanya seorang pemimpin untuk meneruskan misi yang dibangun Nabi sangat mendesak dan tidak bisa ditunda. Sehingga tidak mengherankan kalau masyarakat Madinah sibuk memikirkan penggantinya, dan penguburan Nabi menjadi soal kedua bagi mereka. Dalam makalah ini penulis ingin membaca dan mengkaji kembali konsep negara dalam al-Qur'ân yang diyakini sebagai kitab hudan (petunjuk) dan menaburkan kemaslahatan bagi kehidupan manusia.
BAB II
KARAKTER PEMERINTAHAN
1. Masa Rasulullah
Awal terbentuknya negara Islam Madinah bermula dari konflik antarklan Arab (suku Aus dan Khazraj) yang kerap terjadi di wilayah jazirah Arab. Konflik yang terjadi pada masa itu bukan disebabkan perebutan kekuasaan, melainkan karena perebutan sumber air yang terdapat di luar wilayah kekuasaan masing-masing. Bagi mereka, air adalah sumber kehidupan dan kekayaan. Sumber air yang diperebutkan bernama Bu'bs, lembah yang terletak tidak jauh dari Yatsrib (Madinah).
Konflik yang terus berkepanjangan ini, membuat masyarakat Arab Yatsrib khawatir keamanan wilayah mereka terancam dari kemungkinan serangan musuh. Kekhawatiran dan rasa tidak aman ini membuat masyarakat Yatsrib merindukan figur seorang tokoh pemimpin yang adil dan mampu menegakkan peraturan yang dapat diterima semua pihak. Oleh sebab itu, suku Aus dan Khazraj terus berusaha mencari tokoh yang diharapkan.
a. Baiat Aqabah
Pada tahun ke-11 kenabian, enam orang dari suku Khazraj bertemu dengan Nabi Muhammad SAW di Aqabah, Mina. Pertemuan tersebut adalah pertemuan dua aspirasi. Di satu sisi, Nabi Muhammad SAW berharap Yatsrib dapat menjadi tempat tegaknya masyarakat yang berdasarkan Islam dan di sisi lain, masyarakat Arab Yatsrib melihat Nabi SAW sebagai individu yang diharapkan dapat menegakkan cita-cita keamanan, kedamaian, dan keadilan di Yatsrib. Hasil dari pertemuan itu, mereka semua masuk Islam. Dan, mereka berjanji akan mengajak penduduk Yatsrib untuk masuk Islam pula.
Pada tahun berikutnya, 12 orang delegasi Yatsrib menemui Nabi SAW di tempat yang sama, Aqabah. Mereka terdiri atas sembilan orang suku Khazraj dan tiga orang suku Aus. Selain masuk Islam, mereka bersumpah di hadapan Nabi SAW. Perjanjian ini dikenal dengan Baiat Aqabah pertama. Dalam perjanjian itu, disebutkan bahwa mereka tidak akan menyekutukan Allah SWT, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak keturunan, tidak akan menyebar fitnah, dan tidak akan mengabaikan kebenaran.
Kemudian, pada tahun berikutnya, orang-orang Yatsrib ini kembali menemui Nabi SAW di Aqabah. Namun, kali ini mereka datang dalam jumlah besar, yakni sebanyak 74 orang, terdiri atas 71 orang laki-laki dan dua orang perempuan. Dalam rombongan besar ini terdapat semua orang yang telah menemui Nabi SAW pada dua gelombang sebelumnya. Dalam kesempatan ini, terjadilah perjanjian antara mereka dan Nabi, yang dikenal dengan Baiat Aqabah kedua.
Kedua baiat ini, menurut Munawwir Sadjali dalam bukunya Islam dan Tata Negara, merupakan batu pertama bangunan negara Islam. Baiat tersebut merupakan janji setia beberapa penduduk Yatsrib kepada Rasulullah SAW, yang merupakan bukti pengakuan atas Muhammad sebagai pemimpin, bukan hanya sebagai Rasul. Sebab, pengakuan sebagai Rasulullah tidak melalui baiat melainkan melalui syahadat.
Dengan dua baiat ini, Rasulullah SAW telah memiliki pendukung yang terbukti sangat berperan dalam tegaknya negara Islam yang pertama di Madinah. Atas dasar baiat ini pula, Rasulullah SAW meminta para sahabat untuk hijrah ke Yatsrib. Dan, beberapa waktu kemudian Rasulullah SAW sendiri ikut hijrah dan bergabung dengan mereka di Yatsrib.
b. Piagam Madinah
Umat Islam memulai hidup bernegara setelah Rasulullah SAW hijrah ke Yatsrib, yang kemudian berubah menjadi Madinah. Di kota ini, Rasulullah SAW segera meletakkan dasar kehidupan yang kokoh bagi pembentukan suatu masyarakat baru di bawah pimpinan beliau.
Masyarakat baru ini merupakan masyarakat majemuk, yang terdiri atas tiga golongan penduduk. Pertama, kaum Muslimin yang terdiri atas kaum Muhajirin dan Ansar ini adalah kelompok mayoritas. Kedua, kaum musyrikin, yaitu orang-orang suku Aus dan Khazraj yang belum masuk Islam, kelompok ini minoritas. Ketiga, kaum Yahudi yang terdiri atas tiga kelompok. Satu kelompok tinggal di dalam kota Madinah, yaitu Bani Qainuqa. Dua kelompok lainnya tinggal di luar kota Madinah, yaitu Bani Nadir dan Bani Quraizah.
Setelah sekitar dua tahun berhijrah, Rasulullah SAW mengumumkan tentang peraturan dan hubungan antarkomunitas di Madinah. Pengumuman ini dikenal dengan nama Piagam Madinah. Piagam ini merupakan undang-undang untuk pengaturan sistem politik dan sosial masyarakat Islam dan hubungannya dengan umat yang lain. Piagam inilah yang dianggap sebagai konstitusi negara tertulis pertama di dunia. Piagam Madinah ini adalah konstitusi negara yang berasaskan Islam dan disusun sesuai dengan syariat Islam.
Sebagai kepala negara, Rasulullah menyadari akan arti pengembangan sumber daya manusia melalui penanaman akidah dan ketaatan kepada syariat Islam. Beliau membangun masjid yang dijadikan sebagai sentra pembinaan umat. Di berbagai bidang kehidupan, Rasulullah SAW melakukan pengaturan sesuai dengan petunjuk dari Allah SWT.
Di bidang pemerintahan, sebagai kepala pemerintahan, beliau mengangkat beberapa sahabat untuk menjalankan beberapa fungsi yang diperlukan agar manajemen pengaturan masyarakat berjalan dengan baik. Rasul SAW mengangkat Abu Bakar as-Siddiq dan Umar bin Khattab sebagai wazir (menteri). Juga, mengangkat beberapa sahabat yang lain sebagai pemimpin di sejumlah wilayah kekuasaan Islam, di antaranya Muaz bin Jabal sebagai gubernur di Yaman.
Selain itu, sebagai kepala negara, Rasulullah SAW juga melaksanakan hubungan dengan negara-negara lain. Menurut Tahir Azhari dalam bukunya Negara Hukum, Rasulullah SAW mengirimkan sekitar 30 buah surat kepada kepala negara lain, di antaranya kepada Almuqauqis raja negeri Mesir, Kisra penguasa Persia, dan Kaisar Heraklius penguasa Romawi. Dalam surat yang dikirim tersebut, Nabi mengajak mereka masuk Islam. Sehingga, bisa dikatakan politik luar negeri negara Islam Madinah saat itu adalah dakwah semata. Bila mereka tidak bersedia masuk Islam, diminta untuk tunduk dan bila tidak mau juga, barulah negara tersebut diperangi.
c. Hubungan Rakyat dan Negara
Dalam Islam sesungguhnya tidak ada dikotomi antara rakyat dengan negara, karena negara didirikan justru untuk kepentingan mengatur kehidupan rakyat dengan syariat Islam. Kepentingan tersebut yaitu tegaknya syariat Islam secara keseluruhan di segala lapangan kehidupan. Dalam hubungan antara rakyat dan negara akan dihasilkan hubungan yang sinergis bila keduanya memiliki kesamaan pandangan tentang tiga hal (Taqiyyudin An Nabhani, Sistem Pemerintahan Islam, 1997), pertama asas pembangunan peradaban (asas al Hadlarah) adalah aqidah Islam, kedua tolok ukur perbuatan (miqyas al ‘amal) adalah perintah dan larangan Allah, ketiga makna kebahagiaan (ma’na sa’adah) dalam kehidupan adalah mendapatkan ridha Allah. Ketiga hal tersebut ada pada masa Rasulllah. Piagam Madinah dibuat dengan asas Islam serta syariat Islam sebagai tolok ukur perbuatan.
Adapun peran rakyat dalam negara Islam ada tiga, pertama melaksanakan syariat Islam yang wajib ia laksanakan, ini adalah pilar utama tegaknya syariat Islam, yakni kesediaan masing-masing individu tanpa pengawasan orang lain karena dorongan taqwa semata, untuk taat pada aturan Islam, kedua, mengawasi pelaksanaan syariat Islam oleh negara dan jalannya penyelenggaraan negara, ketiga, rakyat berperan sebagai penopang kekuatan negara secara fisik maupun intelektual, agar menjadi negara yang maju, kuat, disegani di tengah-tengah percaturan dunia. Di sinilah potensi umat Islam dikerahkan demi kejayaan Islam (izzul Islam wa al Muslimin).
d. Aspirasi Rakyat
Dalam persoalaan hukum syara’, kaum muslimin bersikan sami’ na wa atha’na. Persis sebagaimana ajaran al Qur’an, kaum muslimin wajib melaksanakan apa saja yang telah ditetapkan dan meninggalkan yang dilarang. Dalam masalah ini Kepala Negara Islam menetapkan keputusannya berdasarkan kekuatan dalil, bukan musyawarah, atau bila hukumnya sudah jelas maka tinggal melaksanakannya saja. Menjadi aspirasi rakyat dalam masalah tasyri’ untuk mengetahui hukum syara’ atas berbagai masalah dan terikat selalu dengannya setiap waktu. Menjadi aspirasi mereka juga agar seluruh rakyat taat kepada syariat, dan negara melaksanakan kewajiban syara’nya dengan sebaik-baiknya. Rakyat akan bertindak apabila terjadi penyimpangan.
Di luar masalah tasyri’, Rasulullah membuka pintu musyawarah. Dalam musyawarah kada Rasulullah mengambil suara terbanyak, kadang pula mengambil pendapat yang benar karena pendapat tersebut keluar dari seorang yang ahli dalam masalah yang dihadapi. Dan para sahabat pun tidak segan-segan mengemukakan pendapatnya kepada Rasulullah, setelah mereka menanyakan terlebih dahulu apakah hal ini wahyu dari Allah atau pendapat Rasul sendiri.
e. Penegakkan Hukum
Hukum Islam ditegakkan atas semua warga, termasuk non muslim di luar perkara ibadah dan aqidah. Tidak ada pengecualian dan dispensasi. Tidak ada grasi, banding, ataupun kasasi. Tiap keputusan Qadhi adalah hukum syara’ yang harus dieksekusi. Peradilan berjalan secara bebas dari pengaruh kekuasaan atau siapapun.
2. Masa Khulafa ar-Rasyidun
Al-Khulafa ar-Rasyidun merupakan pemimpin umat Islam setelah Rasulullah SAW wafat, yaitu pada masa pemerintahan Abu Bakar as-Siddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Sepeninggal Rasulullah SAW, kepemimpinan umat Islam beralih kepada Abu Bakar as-Siddiq. Pemilihan dan penetapan Abu Bakar sebagai khalifah dilakukan secara demokratis. Pencalonannya dilaksanakan oleh perseorangan, yaitu Umar bin Khattab, yang ternyata disetujui oleh semua yang hadir pada saat itu.
Abu Bakar menjadi khalifah hanya dua tahun. Masa sesingkat itu habis untuk menyelesaikan persoalan dalam negeri, terutama tantangan yang ditimbulkan oleh suku-suku Arab yang membelot dari Islam dan tidak mau mengakui kepemimpinan Abu Bakar. Mereka yang termasuk dalam golongan tersebut disebut kaum Riddah (murtad, kaum yang keluar dari agama Islam).
Setelah menyelesaikan urusan dalam negeri, barulah perhatian Abu Bakar beralih kepada masalah luar negeri. Pada saat itu, di luar kekuasaan Islam terdapat dua kekuatan adidaya yang dinilai dapat mengganggu keberadaan Islam secara politis maupun sebagai agama. Kedua kekuatan tersebut adalah Kekaisaran Persia dan Romawi Timur.
Di zaman kepemimpinan Umar bin Khattab, gelombang ekspansi (perluasan daerah kekuasaan) pertama terjadi. Ibu kota Syria, Damaskus, jatuh tahun 635 M dan setahun kemudian, setelah tentara Bizantium kalah di pertempuran Yarmuk, seluruh daerah Syria jatuh ke tangan kekuasaan Islam. Ekspansi diteruskan ke Mesir di bawah pimpinan Amr bin Ash dan ke Irak di bawah pimpinan Saad bin Abi Waqqas. Iskandaria, ibu kota Mesir, ditaklukkan tahun 641 M. Dengan demikian, Mesir jatuh di bawah kekuasaan Islam. Al-Qadisiyah, sebuah kota dekat Hirah di Iraq, jatuh tahun 637 M. Kemudian, kekuasaan Islam menyebar hingga Jazirah Arabia, seperti Palestina, Syria, sebagai Persia dan Mesir.
Karena perluasan daerah terjadi dengan cepat, Umar segera mengatur administrasi negara dengan mencontoh administrasi yang sudah berkembang, terutama di Persia. Administrasi pemerintahan diatur menjadi delapan wilayah provinsi: Makkah, Madinah, Syria, Jazirah Basrah, Kufah, Palestina, dan Mesir.
Pada masa pemerintahan Umar, juga mulai diatur dan ditertibkan sistem pembayaran gaji dan pajak tanah. Pengadilan didirikan dalam rangka memisahkan lembaga yudikatif dengan lembaga eksekutif. Untuk menjaga keamanan dan ketertiban, jawatan kepolisian dibentuk. Demikian pula, jawatan pekerjaan umum. Umar juga mendirikan Bait al-Mal, menempa mata uang, dan menciptakan penghitungan tahun hijriah. Umar memerintah selama 10 tahun (13-23 H/634-644 M).
Di masa pemerintahan Usman (644-655 M), Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhodes, dan bagian yang tersisa dari Persia, Transoxania, dan Tabaristall berhasil direbut. Pemerintahan Usman berlangsung selama 12 tahun, pada paruh terakhir masa kekhalifahannya muncul perasaan tidak puas dan kecewa di kalangan umat Islam terhadapnya.
Pada masanya, Usman berjasa membangun bendungan untuk menjaga arus banjir yang besar dan mengatur pembagian air ke kota-kota. Dia juga membangun jalan-jalan, jembatan-jembatan, masjid-masjid, dan memperluas masjid Nabi di Madinah.
Ali bin Abi Thalib Setelah Usman wafat, Ali bin Abi Thalib dibaiat menjadi khalifah. Ali memerintah hanya enam tahun. Selama masa pemerintahannya, ia menghadapi berbagai pergolakan. Tidak ada masa sedikit pun dalam pemerintahannya yang dapat dikatakan stabil. Di antaranya, Ali harus berhadapan dengan pendukung Usman yang tidak suka dengan pemecatan gubernur yang dulunya diangkat usman. Selain itu, Ali juga harus berhadapan dengan Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, dan Aisyah. Di akhir masa pemerintahannya, umat Islam terpecah menjadi tiga kekuatan politik, yaitu Mu'awiyah, Syiah (pengikut Ali), dan Khawarij.
3. Masa Kerajaan Islam
a. Dinasti Umayyah
Ketika memegang tampuk pemerintahan Islam sesudah al-Khulafa ar-Rasyidin, Dinasti Umayyah melanjutkan tradisi kerajaan-kerajaan pra-Islam di Timur Tengah. Sikap ini mengundang kritik keras dan oposisi, terutama dari golongan Khawarij dan Syiah. Usaha menekan kelompok oposisi terus dijalankan bersamaan dengan usaha memperluas wilayah Islam hingga Afrika Utara dan Spanyol.
Pada masa awal memerintah, Dinasti Umayyah di bawah kepemimpinan Khalifah Muawiyah bin Abu Sufyan mengadakan dinas pos dengan menyiapkan kuda yang lengkap dengan peralatannya di tempat tertentu sepanjang jalan. Pegawai pos menggunakan kuda tersebut untuk membawa surat atau barang titipan lain sampai ke stasiun berikutnya.
Sistem penggunaan mata uang juga mulai diperkenalkan pada masa ini, yakni dengan didirikannya percetakan mata uang.
Dalam mengendalikan pemerintahannya, Muawiyah didukung oleh beberapa pembantu utama untuk mengatasi berbagai kesulitan yang dihadapi. Ia mengangkat sejumlah gubernur. Di bidang yudikatif, para qadli (hakim) ditunjuk oleh gubernur setempat yang diangkat oleh khalifah.
Semasa memerintah, Muawiyah berhasil menciptakan keamanan dalam negeri dengan membasmi para pemberontak. Ia juga berhasil mengantarkan negara dan rakyatnya kepada kemakmuran dan kekayaan yang melimpah. Perluasan wilayah pada masanya juga sukses hingga mencapai Afrika Utara, wilayah Khurasan, dan Bukhara (Turkistan) setelah berhasil menyeberang Sungai Oxus. Hal ini kemudian diikuti khalifah berikutnya, seperti Abdul Malik hingga Umar bin Abdul Aziz. Wilayah kekuasaan Islam menyebar hingga Andalusia, Spanyol.
b. Dinasti Abbasiyah
Salah satu dinasti Islam terlama adalah Abbasiyah. Setelah Umayyah, muncul Dinasti Abbasiyah yang bertahan lebih dari lima abad (750-1258 M) dan pernah mewujudkan zaman keemasan umat Islam. Para sejarawan membagi masa kekuasaan Abbasiyah menjadi beberapa periode berdasarkan ciri, pola perubahan pemerintahan, dan struktur sosial politik maupun tahap perkembangan peradaban yang dicapai.
Berbeda dari pendahulunya, Dinasti Abbasiyah mendistribusikan kekuasaan secara lebih luas, baik orang Arab maupun Muslim non-Arab. Sejak berkuasa, penguasa Abbasiyah mengangkat ulama terkenal untuk menjalankan fungsi hukum. Kekuasaan peradilan diserahkan sepenuhnya kepada para hakim, yang diangkat oleh pemerintah pusat. Mereka melaksanakan fungsi yudikatif, bebas dari intervensi penguasa.
Birokrasi juga mulai ditumbuhkan pada masa kekuasaan Dinasti Abbasiyah. Di antaranya, adanya jabatan baru, yaitu wazir (penasihat khalifah), pembagian departemen, seperti militer, administrasi, dokumentasi, dan perbendaharaan.Selanjutnya, wilayah kekuasaan di tingkat provinsi dipimpin oleh gubernur (amir). Khalifah juga mengangkat hakim agung (qadli al-qudlat) di setiap provinsi untuk mengatasi masalah-masalah hukum.
Salah satu ciri yang cukup menonjol dalam kekuasaan Dinasti Abbasiyah adalah sistem sentralisasi kekuasaan, terutama dalam masalah administrasi keuangan dan perpajakan. Ini adalah salah satu yang membedakannya dari kekuasaan Umayyah. Implikasi dari sentralisasi ini ialah adanya upaya yang sungguh-sungguh untuk memastikan bahwa provinsi memberikan sumbangan yang memadai untuk mendukung pemerintahan pusat.
0 komentar:
Posting Komentar