RSS Feed

Total Tayangan Halaman

Selasa, 29 November 2011

Euthanasia Ditinjau Dari Aspek Hukum Islam

Bab I
Pendahuluan

Perkembangan dunia yang semakin maju dan peradaban manusia yang gemilang sebagai refleksi dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, persoalan-persoalan norma dan hukum kemasyarakatan dunia bisa bergeser sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat yang bersangkutan. Kebutuhan dan aspirasi masyarakat menempati kedudukan yang tinggi. Apabila terjadi pergeseran nilai dalam masyarakat, interpretasi terhadap hukum juga bisa berubah.
Akibat gerakan kebebasan, masyarakat barat yang menganut sistem demokrasi liberal dimana hak individu sangat dijunjung tinggi dan nilai-nilai moral telah terlepas dari poros agama (gereja), ditandai dengan berkembangnya paham sekularisme. Siapapun (termasuk pemerintah) tidak boleh mencampuri dan mengganggu hak individu.
Masalah euthanasia telah lama dipertimbangkan oleh kalangan kedokteran dan para praktisi hukum di negara-negara barat. Pro dan kontra terhadap euthanasia itu masih berlangsung ketika dikaitkan dengan pertanyaan bahwa menentukan mati itu hak siapa dan dari sudut mana ia harus melihat

Bab ii
Pembahasan

A.    Pengertian euthanasia dan macam-macamnya
Euthanasia berasal dari kata yunani eu : baik dan thanatos : mati. Maksudnya adalah mengakhiri hidup dengan cara yang mudah tanpa rasa sakit.
Euthanasia sering disebut : mercy killing (mati dengan tenang). Euthanasia bisa muncul dari keinginan pasien sendiri, permintaan dari keluarga dengan persetujuan pasien (bila pasien masih sadar), atau tanpa persetujuan pasien (bila pasien sudah tidak sadar).
Tindakan euthanasia dikategorikan menjadi 2 :
  1. Aktif
  2. Pasif
Euthanasia aktif adalah : suatu tindakan mempercepat proses kematian, baik dengan memberikan suntikan maupun melepaskan alat-alat pembantu medika, seperti : melepaskan saluran zat asam, melepas alat pemacu jantung dan lain-lain. Yang termasuk tindakan mempercepat proses kematian disini adalah : jika kondisi pasien, berdasarkan ukuran dan pengalaman medis masih menunjukkan adanya harapan hidup. Tanda-tanda kehidupan masih terdapat pada penderita ketika tindakan itu dilakukan.
Euthanasia pasif adalah : suatu tindakan membiarkan pasien/penderita yang dalam keadaan tidak sadar (comma), karena berdasarkan pengamalan maupun ukuran medis sudah tidak ada harapan hidup, atau tanda-tanda kehidupan tidak terdapat lagi padanya, mungkin karena salah satu organ pentingnya sudah rusak atau lemah seperti : bocornya pembuluh darah yang menghubungkan ke otak (stroke) akibat tekanan darah terlalu tinggi, tidak berfungsinya jantung.
B.     Kriteria mati
Apabila nadi tidak bergerak, maka jantung sudah tidak berfungsi, karena jantung merupakan alat pemompa darah ke seluruh tubuh. Bahwa jantung ternyata digerakkan oleh pusat saraf penggerak yang terletak pada bagian batang otak kepala.
Apabila terjadi perdarahan pada batang otak, maka denyut jantung terganggu. Tetap perdarahan pada otak yang bersangkutan tidak mati, kata prof. Dr. Mahar mardjono (eks rektor ui). Jadi, kalau hanya terjadi perdarahan pada otak, penderita tidak mati, jika batang otak betul-betul mati, maka harapan hidup seseorang sudah terputus.
Menurut dr. Yusuf misbach (ahli saraf) terdapat 2 macam kematian otak yaitu kematian korteks otak yang merupakan pusat kegiatan intelektual dan kematian batang otak. Kerusakan batang otak lebih fatal karena terdapat pusat saraf penggerak motor semua saraf tubuh. Menurut dr. Kartono muhammad (wakil ketua ikatan dokter indonesia) mengatakan seseorang mati bila batang otak menggerakkan jantung dan paru-paru tidak berfungsi lagi.
Para fuqaha menurut dr. Peunoh daly menentukan ukuran hidup matinya seseorang dengan empat fenomena. Pertama, adanya gerak/nafas, gerakan sedikit/banyak. Kedua, adanya suara maupun bunyi, yang terdapat pada mulut, jeritan tangis, dan rasa haus. Ketiga, mempunyai kemampuan berfikir terutama bagi orang dewasa. Keempat, mempunyai kemampuan merasakan lewat panca indra dan hati.
Kriteria yang dikemukakan fuqaha yaitu kriteria pertama dan kedua masih belum menjamin, karena sering orang tidak bernafas dan tidak bersuara pada saat comma. Sedangkan kriteria ketiga yaitu kemampuan berfikir, hanya salah satu vitalitas otak. Kerusakan organ tidak fatal masih bisa dioperasi. Kriteria keempat, sulit dideteksi dengan menggunakan alat canggih.
Keempat kriteria dapat diterapkan di tempat yang tidak ada alat ukur seperti disebutkan prof. Mahar.

C.    Euthanasia menurut kuhp dan kode etik kedokteran
Prinsip umum uu hukum pidana (kuhp) yang berkaitan dengan masalah jiwa manusia adalah memberikan perlindungan, sehingga hak untuk hidup secara wajar sebagaimana harkat kemanusiaannya menjadi terjamin.
Di dalam pasal 344 kuhp dinyatakan : “barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun”.
Berdasarkan pasal ini, seorang dokter bisa dituntut oleh penegak hukum, apabila ia melakukan euthanasia, walaupun atas permintaan pasien dan keluarga yang bersangkutan, karena perbuatan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum.
Mungkin saja dokter atau keluarga terlepas dari tuntutan pasal 344 ini, tetapi ia tidak bisa melepaskan diri dari tuntutan pasal 388 yang berbunyi : “barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum karena makar mati, dengan hukuman penjara selama-lamanya 15 tahun”. Dokter bisa diberhentikan dari jabatannya, karena melanggar kode etik kedokteran. Keputusan menteri kesehatan nomor : 434/men.kes/sk/x/1983 pasal 10 menyebutkan : “setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajibannya untuk melindungi ‘hidup’ makhluk insani”.
Menurut etik kedokteran, seorang dokter tidak dibolehkan :
  1. Menggugurkan kandungan (abortus provocatus)
  2. Mengakhiri hidup seorang penderita, yang menurut ilmu dan pengalaman tidak akan mungkin sembuh lagi.
Seorang dokter harus mengerahkan segala kepandaiannya dan kemampuannya untuk meringankan penderitaan dan memelihara hidup manusia (pasien), tetapi tidak untuk mengakhirinya.
D.    Euthanasia dalam tinjauan hukum islam
  1. Kedudukan jiwa dalam islam
Islam sangat menghargai jiwa, lebih-lebih terhadap jiwa manusia. Cukup banyak ayat al-qur’an maupun hadits yang mengharuskan kita untuk menghormati dan memelihara jiwa manusia (hifzh al nafs). Jiwa, meskipun merupakan hak asasi manusia, tetapi ia adalah anugerah allah swt.
Di antara firman-firman allah swt yang menyinggung soal jiwa atau “nafs” itu adalah :
a.       Surat al-hijr ayat 23 :
$¯RÎ)ur ß`ósuZs9 ¾ÄÓôvéU àMÏJçRur ß`øtwUur tbqèOͺuqø9$# ÇËÌÈ  

Artinya :
“dan sesungguhnya benar-benar kami-lah yang menghidupkan dan mematikan, dan kami (pulalah) yang mewarisi”.
b.      Surat al-najm ayat 44 :
¼çm¯Rr&ur uqèd |N$tBr& $uŠômr&ur ÇÍÍÈ  
Artinya :
“dan bahwasanya dia-lah (allah) yang mematikan dan menghidupkan”.
Tindakan merusak maupun menghilangkan jiwa milik orang lain maupun jiwa milik sendiri adalah perbuatan melawan hukum allah. Begitu besarnya penghargaan islam terhadap jiwa, sehingga segala perbuatan yang merusak atau menghilangkan jiwa manusia, diancam dengan hukuman yang setimpal (qishash atau diyat).
  1. Euthanasia dalam hubungannya dengan jarimah mati
Yang menjadi unsur-unsur jarimah itu secara umum adalah :
a.       nash” yang melarang perbuatan itu dan memberikan ancaman hukuman terhadapnya. Ini disebut sebagai unsur formal (rukun syar’i).
b.      “tindakan” yang membentuk suatu perbuatan jarimah, baik perbuatan nyata maupun sikap “tidak berbuat”. Unsur ini disebut unsur material (rukun maddi).
c.       “pelaku” yang mukallaf, yaitu orang yang dapat dimintai pertanggung-jawaban terhadap jarimah yang dilakukannya. Ini disebut unsur moral (rukun abadi).
Dari segi nash islam memang secara tegas melarang pembunuhan. Aspek tindakan sebagai unsur kedua sudah jelas ada. Karena biasanya upaya untuk mengurangi beban pasien dalam penderitaannya melalui suntikan dengan bahan pelemah fungsi saraf dalam dosis tertentu (neurasthenia).
Terjadinya euthanasia aktif tidak terlepas dari pertimbangan-pertimbangan berikut :
1.      Dari pihak pasien, yang meminta kepada dokter karena merasa tidak tahan lagi menderita sakit karena penyakit yang dideritanya terlalu gawat dan sudah lama. Pasien juga mempertimbangkan masalah ekonomi. Atau pasien sudah tahu bahwa ajalnya sudah dekat, harapan untuk sembuh terlalu jauh, maka supaya matinya tidak merasa sakit, dia meminta jalan yang lebih “nyaman” yaitu melalui euthanasia.
2.      Dari pihak keluarga/wali, yang merasa kasihan atas penderitaan pasien.
3.      “kemungkinan lain” bisa terjadi, bahwa pihak keluarga bekerjasama dengan dokter untuk mempercepat kematian pasien.
Masalahnya adalah sejauh mana atau dalam hal apa saja nyawa seseorang bisa/boleh dihabisi. Untuk ini allah telah menggariskannya melalui firman-nya dalam surat al-isra ayat 33 (juga al-an’am : 151).
Artinya :
“dan jangan kamu membunuh jiwa yang diharamkan allah, melainkan dengan suatu (alasan) yang benar”.
Syeikh ahmad musthafa al-maraghi menjelaskan bahwa pembunuhan (mengakhiri hidup) seseorang bisa dilakukan apabila disebabkan oleh salah satu dari 3 sebab :
1.      Karena pembunuhan oleh salah seseorang secara zalim.
2.      Janda secara nyata berbuat zina, yang diketahui oleh empat orang saksi.
3.      Orang yang keluar dari agama islam, sebagai suatu sikap menentang jama’ah islam.
Sakit adalah satu bentuk uji kesabaran, sehingga tidaklah tepat kalau diselesaikan dengan mengakhiri diri sendiri melalui euthanasia (aktif). Syeikh muhammad yusuf al-qardhawi mengatakan, bahwa kehidupan manusia bukan menjadi hak milik pribadi, sebab dia tidak dapat menciptakan dirinya (jiwanya). Oleh karena itu ia tidak boleh diabaikan, apalagi dilepaskan dari kehidupannya.
Islam tidak membenarkan dalam situasi apapun untuk melepaskan nyawanya hanya karena ada musibah. Seorang mukmin diciptakan justru untuk berjuang, bukan untuk lari dari kenyataan. Dalam hal ini syeikh mahmud syaltut memberikan pembahasan yang ringkasnya bahwa para ahli fiqh berbeda pendapat mengenai suatu kejahatan disuruh sendiri oleh si korban atau oleh walinya. Bahwa perintah korban dapat menggugurkan qishash terhadap pelaku.
Mempercepat kematian tidak dibenarkan. Tugas dokter adalah menyembuhkan, bukan membunuh. Kalau dokter tidak sanggup, kembalikan kepada keluarga. Sedangkan terhadap euthanasia pasif, para ahli, baik dari kalangan kedokteran, ahli hukum pidana, maupun para ulama sepakat membolehkan.
Kebolehan euthanasia pasif itu didasarkan atas pertimbangan bahwa pasien sebenarnya memang sudah tidak memiliki fungsi organ-organ yang memberi kepastian hidup. Kalaupun ada harapan, umpamanya karena salah satu dari 3 organ utama yang tidak berfungsi, yaitu jantung, paru-paru, korteks otak (otak besar, bukan batang otak), maka berarti masih bisa dilakukan pengobatan bagi pasien yang berada di rs yang lengkap peralatannya. Tetapi bila pasien berada di rs yang sederhana, sehingga usaha untuk mengatasi kerusakan salah satu dari yang disebutkan itu, atau biaya untuk meneruskan pengobatan ke rs yang lebih lengkap. Allah tidak memberikan beban kewajiban yang manusia tidak sanggup memikulnya. Yang penting disini tidak ada unsur kesengajaan untuk mempercepat kematian pasien.
Kalau kerusakan terjadi pada batang otak, maka seluruh organ lainnya akan terhenti pula fungsinya. Memang bisa terjadi, ketika batang otak telah rusak, tetapi jantung masih berdenyut. Apalagi jika batang otak sudah mengalami pembusukan. Maka dalam kondisi yang demikian, tindakan euthanasia pasif boleh dilaksanakan, umpamanya dengan mencabut selang pernafasan, masker oksigen, pemacu jantung, saluran infus dsb. Maksudnya hanya sebagai langkah menyempurnakan kematian.

Bab iii
Penutup

A.    Kesimpulan
Berdasarkan uraian terdahulu, maka dapatlah ditarik kesimpulan sebagai berikut :
  1. Yang berhak mengakhiri hidup seseorang hanyalah allah swt. Oleh karena itu, orang yang mengakhiri hidupnya dengan cara dan alasan yang bertentangan dengan ketentuan agama (tidak bilhaq), seperti euthanasia aktif, adalah perbuatan bunuh diri, yang diharamkan dan diancam allah dengan hukuman neraka selama-lamanya.
  2. Euthanasia aktif tetap dilarang, baik dilihat dari segi kode etik kedokteran, undang-undang hukum pidana, lebih-lebih menurut islam yang menghukumnya dengan haram. Terhadap keluarga yang menyuruh, maupun dokter yang melaksanakan, dipandang sebagai pelaku pembunuhan sengaja. Sedangkan dokter yang melaksanakan euthanasia aktif atas permintaan pasien, dipandang sebagai membantu terlaksananya bunuh diri.
  3. Euthanasia pasif diperbolehkan, yaitu sepanjang kondisi organ utama pasien berupa batang otaknya sudah mengalami kerusakan fatal. Sedangkan kerusakan organ jantung, paru-paru, dan korteks, dalam dunia kedokteran sekarang masih bisa diatasi. Maka tindakan euthanasia terhadap pasien dalam kondisi seperti ini sama dengan pembunuhan.



B.     Saran-saran
Untuk menghadapi beberapa masalah yang berkaitan dengan adanya euthanasia ini, perlu kiranya dikemukakan saran-saran berikut :
  1. Jika pertimbangan kemampuan untuk memperoleh layanan medis yang lebih baik tidak memungkinkan lagi, baik karena biaya maupun karena rumah sakit yang lebih lengkap terlalu jauh, maka dapat dilakukan dua cara :
a.       Menghentikan perawatan/pengobatan, artinya membawa pasien pulang ke rumah.
b.      Membiarkan pasien dalam perawatan seadanya, tanpa ada maksud melalaikannya, apalagi menghendaki kematiannya.
  1. Umat islam diharapkan tetap berpegang teguh pada kepercayaannya yang memandang segala musibah (termasuk menderita sakit) sebagai ketentuan yang datang dari allah.
  2. Para dokter diharapkan tetap berpegang pada kode etik kedokteran dan sumpah jabatannya, sehingga tindakan yang mengarah kepada percepatan proses kematian bisa dihindari.


Daftar pustaka

Nugroho,f. 2008.  Euthanasia dalam tinjauan hukum pidana islam. Solo: fakultas hukum universitas muhammadiyah surakarta.

Rietveld, r. 2003.  Methods of euthanasia: on farm euthanasia of cattle  and

Setiatin, e.t. 2004. Euthanasia: tinjauan etik pada hewan. Makalah tidak diterbitkan. Bogor: sekolah pasca sarjana ipb.

Jumat, 25 November 2011

prinsip-prinsip hukum islam

BAB I
PENDAHULUAN

1.      Latar Belakang Masalah
            Sebelum kita berbicara tentang  prinsip-prinsip hukum islam sebagai yang menjadi pusat kajian kita harus memahami terlebih dahulu makna Islam (sebagai agama) yang menjadi induk hukum Islam itu sendiri. Kata Islam terdapat dalam Al-qur’an, kata benda yang berasal dari kata kerja salima, arti yang dikandung kata Islam adalah kedamaian, kesejahteraan, keselamatan, penyerahan (diri) dan kepatuhan.[1]
Sedangkan arti Islam sebagai agama adalah Islam adalah agama yang telah diutuskan oleh Allah kepada nabi Muhammad SAW untuk membahagiakan dan menguntungkan manusia.[2]
Orang yang secara bebas memilih Islam untuk patuh atas kehendak Allah SWT disebut Muslim, arti seorang muslim adalah orang yang menggunakan akal dan kebebasannya menerima dan mematuhi kehendak atau petunjuk Tuhan. Seorang muslim yang sudah baligh maka disebut mukallaf, yaitu orang yang sudah dibebani kewajiban dalam artian menjalankan perintah Allah dan meninggalkan larangannya.
            Ketentuan-ketentuan Allah SWT atas manusia terdapat dalam Syariah, sedangkan arti dari syariah sendiri dari segi harfiah adalah jalan kesumber (mata) air yaitu jalan lurus yang harus diikuti oleh setiap muslim. Sedangkan dari segi ilmu hukum adalah norma dasar yang ditetapkan Allah, yang wajib diikuti oleh seorang muslim.

2.      Rumusan masalah
a.       Pengetian Hukum Islam?
b.      Prinsip-Prinsip Hukum Islam?


BAB II
PEMBAHASAN

1.      Pengertian Hukum Islam
Kata hukum  Islam merupakan kata majemuk yang terdiri dari kata hukum dan Islam,  Di dalam kamus besar bahasa Indonesia kata hukum  mempunyai arti peraturan atau adat yg secara resmi dianggap mengikat, yang  dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah, undang-undang, peraturan, untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat,  patokan (kaidah, ketentuan) mengenai peristiwa (alam dsb) yang tertentu, keputusan (pertimbangan) yang ditetapkan oleh hakim (dalam pengadilan).[3]
Sedangkan Islam sendiri telah dijelaskan diatas merupakan agama yang Rahmatallil’alamin.
Dari pengertian-pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian hukum Islam adalah norma-norma yang bersumber dari nilai-nilai keislaman yang dibentuk dari dalil-dalil agama Islam, yang mencakup antara syariah dah fiqh.
Dalam sistem hukum Islam ada lima kaidah yang dipergunakan sebagai patokan pengukur perbuatan manusia baik dibidang ibadah maupun muamalah, kelima jenis kaidah tersebut yaitu Jaiz, sunnat, makruh, wajib, haram, yang disebut juga hukum Taklifi yaitu hukum yang menjelaskan tentang perintah, larangan dan pilihan untuk menjalankan atau meninggalkan suatu kegiatan/pekerjaan.
Selain hukum taklifi adapula hukum wadh’i yakni hukum yang mengandung sebab, syarat, dan halangan terjadinya hukum dan hubungan hukum.
Hukum Islam seperti telah disingggung diatas mencakup syariat dan fiqh, yang merupakan penjelmaan dari hukum Islam itu sendiri, seperti telah dijelaskan syariat mencakup norma yang mengatur hubungan baik ibadah dan muamalah, sedangkan fiqh dalam bahasa berarti paham atau pengertian, apabila dihubungkan dengan kajian ini dapat diartikan  sebagai ilmu yang bertugas menentukan dan menguraikan norma-norma hukum dasar yang terdapat dalam Al-qur’an dan ketentuan-ketentuan umum yang terdapat dalam sunnah Nabi yang direkam dalam kitab-kitab hadist.[4]
2.      Prinsip-Prinsip Hukum Islam
Prinsip-prinsip hukum Islam menurut Juhaya S. Praja sebagai berikut :
  1. Prinsip Tauhid
Tauhid adalah prinsip umum hukum Islam. Prinsip ini menyatakan bahwa semua manusia ada dibawah satu ketetapan yang sama, yaitu ketetapan tauhid yang dinyatakan dalam kalimat La’ilaha Illa Allah (Tidak ada tuhan selain Allah). Prinsip ini ditarik dari firman Allah SWT QS. Ali Imran Ayat 64. Berdasarkan atas prinsip tauhid ini, maka pelaksanaan hukum Islam merupakan ibadah. Dalam arti perhambaan manusia dan penyerahan dirinya kepada Allah sebagai maniprestasi kesyukuran kepada-Nya. Dengan demikian tidak boleh terjadi setiap mentuhankan sesama manusia dan atau sesama makhluk lainnya. Pelaksanaan hukum Islam adalah ibadah dan penyerahan diri manusia kepada keseluruhan kehendak-Nya.
Berdasarkan prinsip tauhid ini melahirkan azas hukum Ibadah, yaitu Azas kemudahan atau meniadakan kesulitan. Dari azas hukum tersebut terumuskan kaidah-kaidah hukum ibadah sebagai berikut :
  • Al-ashlu fii al-ibadati tuqifu wal ittiba’: yaitu pada pokoknya ibadah itu tidak wajib dilaksanakan, dan pelaksanaan ibadah itu hanya mengikuti apa saja yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya.
  • Al-masaqqah tujlibu at-taysiir: Kesulitan dalam melaksanakan ibadah akan mendatangkan kemudahan.

b.      Prinsip Keadilan
Keadilan dalam bahasa Salaf adalah sinonim al-mizan atau keseimbangan. Kata keadilan dalam al-Qur’an kadang samakan dengan al-qist.
Pembahasan keadilan  pada umumnya berkonotasi dalam penetapan hukum atau kebijaksanaan raja. Akan tetapi,  keadilan dalam hukum Islam meliputi berbagai aspek. Prinsip keadilan ketika dimaknai sebagai prinsip moderasi, menurut Wahbah Az-Zuhaili bahwa perintah Allah ditujukan bukan karena esensinya, sebab Allah tidak mendapat keuntungan dari ketaatan dan tidak pula mendapatkan kemadaratan dari perbuatan maksiat manusia. Namun ketaatan tersebut hanyalah sebagai jalan untuk memperluas prilaku dan cara pendidikan yang dapat membawa kebaikan bagi individu dan masyarakat.

c.       Prinsip Amar Makruf Nahi Mungkar
Hukum Islam digerakkan untuk merekayasa umat manusia untuk menuju tujuan yang baik dan benar yang dikehendaki dan ridho Allah dan menjauhi hal yang dibenci Allah.
d.      Prinsip Kebebasan
Prinsip kebebasan dalam hukum Islam menghendaki agar agama atau hukum Islam disiarkan tidak berdasarkan paksaan, tetapi berdasarkan penjelasan, demontrasi, argumentasi. Kebebasan yang menjadi prinsip hukum Islam adalah kebebasan dalam arti luas yang mencakup berbagai macamnya, baik kebebasan individu maupun kebebasan komunal. Keberagama dalam Islam dijamin berdasarkan prinsip tidak ada paksaan dalam beragama.
e.       Prinsip Persamaan
Prinsip persamaan yang paling nyata terdapat dalam Konstitusi Madinah (al-Shahifah), yakni prinsip Islam menentang perbudakan dan penghisapan darah manusia atas manusia. Prinsip persamaan ini merupakan bagian penting dalam pembinaan dan pengembangan hukum Islam dalam menggerakkan dan mengontrol sosial, tapi bukan berarti tidak pula mengenal stratifikasi sosial seperti komunis.
f.       Prinsip At-Ta’awun
Prinsip ini memiliki makna saling membantu antar sesama manusia yang diarahkan sesuai prinsip tauhid, terutama dalam peningkatan kebaikan dan ketakwaan.
g.      Prinsip Toleransi
Prinsip toleransi yang dikehendaki Islam adalah toleransi yang menjamin tidak terlanggarnya hak-hak Islam dan umatnya , tegasnya toleransi hanya dapat diterima apabila tidak merugikan agama Islam.



BAB III
KESIMPULAN
            Islam sebagai sebuah agama yang diturunkan Allah SWT kepada nabi Muhammad SAW sebagai rahmatallil’alamin memiliki peraturan-peraturan atau norma-norma yang terdeskripsikan sebagai sebagai syariat dan fiqh,


[1] Prof. H. Mohammad Daud Ali, S.H, Hukum Islam, Cet 6, PT RAJAGRAFINDO PERSADA, 1998 Jakarta, hal: 21
[3] Kamus besar bahasa indonesia
[4] Op. Cit, hal: 48-49