RSS Feed

Total Tayangan Halaman

Rabu, 29 Februari 2012

Kapita Selekta


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Menurut Prof Soedarto, Kebijakan menggunakan hukum pidana sebagai salah satu sarana  penanggulangan kejahatan, haruslah dilakukan melalui proses sistematik, melalui apa yang disebut sebagai penegakan hukum pidana dalam arti luas, yaitu penegakan hukum pidana dilihat sebagai suatu proses kebijakan, yang pada khakekatnya merupakan penegakan kebijakan yang melawati beberapa tahapan sebagai berikut (Muladi, 1995:13):
  1. Tahap formulasi, yaitu tahap penegakan hukum inabstrakto oleh badan pembuat undang-undang, disebut juga sebagai tahap kebijakan legeslatif.
  2. Tahap aplikasi, yaitu tahap penerapan hukum pidana oleh aparat penegak hukum mulai dari kepolisian sampai Pengadilan,  disbut juga sebagai tahap kebijakan yudukatif.
  3. Tahap eksekusi, yaitu tahap pelaksanaan hukuman pidana secara konkrit oleh aparat-aparat pelaksana pidana. Tahap ini dapat disebut tahap kebijakan ekskutif atau administratif.
Dalam artian yang sempit, maka tahap kebijakan kedua dan ketiga biasanya disebut sebagai kegiatan penegakan hukum (law Enforcement)
B.     Rumusan masalah
  1. Apa pengertian kebijakan Kriminalisasi dan dekriminalisasi ?
  2. Bagaimana  pemberian pidana ?
  3. Pelaksanaan hukum pidana ?
  4. Sejauh mana urgensi dibentuknya KUHP nasional ?



BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi
Kebijakan kriminalisasi merupakan suatu kebijakan dalam menetapkan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana (tidak dipidana) menjadi suatu tindak pidana (perbuatan yang dapat dipidana).  Jadi pada hakekatnya, kebijakan kriminalisasi merupakan bagian dari kebijakan kriminal (criminal policy) dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal), dan oleh karena itu termasuk bagian dari “kebijakan hukum pidana” (penal policy), khususnya kebijakan formulasinya.
Pertanyaan tentang kriminalisasi muncul ketika kita dihadapkan pada suatu perbuatan yang merugikan orang lain atau masyarakat yang hukumnya belum ada atau belum ditemukan.  Berkaitan dengan kebijakan kriminalisasi terhadap perbuatan yang masuk dalam kategori cybercrime sebagai tindak pidana sebagaimana diulas dalam buku tersebut di atas, ada beberapa tanggapan yang hendak dikemukakan, yaitu:
  1. Persoalan kriminalisasi timbul karena dihadapan kita terdapat perbuatan yang berdimensi baru, sehingga muncul pertanyaan adakah hukumnya untuk perbuatan tersebut.  Kesan yang muncul kemudian adalah terjadinya kekosongan hukum yang akhirnya mendorong kriminalisasi terhadap perbuatan tersebut. Sebenarnya dalam persoalan cybercrime, tidak ada kekosongan hukum, ini terjadi jika digunakan metode penafsiran yang dikenal dalam ilmu hukum dan ini yang mestinya dipegang oleh aparat penegak hukum dalam menghadapi perbuatan-perbuatan yang berdimensi baru yang secara khsusus belum diatur dalam undang-undang.  Persoalan menjadi lain jika ada keputusan politik untuk menetapkan cybercrime dalam perundang-undangan tersendiri di luar KUHP atau undang-undang khusus lainnya.  Sayangnya dalam persoalan mengenai penafsiran ini, para hakim belum sepakat mengenai kateori beberapa perbuatan.  Misalnya carding, ada hakim yang menafsirkan masuk dalam kateori penipuan, ada pula yang memasukkan dalam kategori pencurian.  Untuk itu sebetulnya perlu dikembangkan pemahaman kepada para hakim mengenai teknologi informasi agar penafsiran mengenai suatu bentuk cybercrime ke dalam pasal-pasal dalam KUHP atau undang-undang lain tidak membingungkan.
  2. Dilihat dari pengertian kriminalisasi, sesungguhnya kriminalisasi tidak harus berupa membuat undang-undang khusus di luar KUHP, dapat pula dilakukan tetap dalam koridor KUHP melalui amandemen.  Akan tetapi proses antara membuat amandemen KUHP dengan membuat undang-undang khusus hampir sama, baik dari segi waktu maupun biaya, ditambah dengan ketidaktegasan sistem hukum kita yang tidak menganut sistem kodifikasi secara mutlak, menyebabkan munculnya bermacam-macam undang-undang khusus..[1]
Sedangkan dekriminalisasi dapat diartikan sebagai proses menghilangkan sifat dapat dipidananya perbuatan menjadi tidak dapat dipidana. Selain itu masih ada istilah depenalisasi.
Masalah kriminalisasi ini erat kaitannya dengan criminal policy. Criminal policy adalah usaha yang rasional baik dari masyarakat/pemerintah untuk menanggulangi tindak pidana baik menggunakan sarana penal maupun non penal.
Masih menurut Prof. Soedarto ada 3 syarat yang harus diperhatikan didalam melakukan kriminalisasi :
Ø  Perbuatan yang dikriminalisasi harus perbuatan yang menimbulkan kerusakan meluas dan menimbulkan korban.
Ø  Harus mempertimbangkan factor biaya dan hasil, berarti biaya yang dikeluarkan dan hasil yang diperoleh harus seimbang.
Ø  Harus memperhatikan kemampuan aparat penegak hukum. Jangan sampai aparat penegak hukum melampaui bebannya atau melampaui batas.[2]
2. Pemberian Pidana (straafmating)
Banyak orang mengatakan/mengira bahwa masalah pemberian pidana ini semata-mata masalah hakim. Hal ini dapat dipahami ketika pasal 10 KUHP dijatuhkan (pandangan secara sempit). Padahal arti penting penentuan kualifikasi delik adalah menentukan pemidanaan yang akan dijatuhkan.
Pandangan Prof Soedarto mengenai masalah pemberian pidana ini adalah:
Ø  Secara umum, tidak semata-mata menyangkut masalah hakim akan tetapi juga menyangkut pembuat UU. Karena hakim hanya melaksanakan UU yang diciptakan oleh si pembuat. Hal ini disebut proses pemberian pidana In Abstracto (secara umum).
Ø  Secara khusus, masalah ini melibatkan seluruh aparat penegak hukum (hakim,jaksa,polisi,pengacara,pembuat UU). Disebut juga proses pemberian pidana In Concreto (secara khusus).[3]
3. Pelaksanaan Pidana
Pedoman pelaksanaan pidana ini adalah Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sebelumnya adalah HIR dan UU lain (UU Kepolisian, UU Kejaksaan dan UU MA). KUHAP hendak menyatukan penyidikan (penyidik berada disatu tangan) berdasarkan pasal 284 ayat (2) KUHAP.
Di Indonesia saat ini pelaksanaan hukum pidana masih fragmentaris dan instansi centris. Hal ini yang harus dirubah jika ingin melaksanakan hukum pidana secara tepat sasaran dan berdaya guna.
4. Urgensi dibentuknya KUHP nasional
Menurut Prof Soedarto ada 3 urgensi dibentuknya KUHP nasional.
Ø  Pertimbangan Politis: Yaitu kebanggaan yang dirasakan suatu bangsa jika memiliki KUHP nasional.
Ø  Pertimbangan Sosiologis: KUHP suatu bangsa mencerminkan sistem nilai suatu bangsa.
Ø  Pertimbangan Praktis: Harus diciptakan KUHP nasional yang berbahasa Indonesia sehingga didalam prakteknya tidak terjadi kesalah pahaman.
Selain ketiga pertimbangan diatas, Prof Muladi menambahkan satu pertimbangan lagi, yaitu:
Pertimbangan Adaptif: sebisa mungkin mengadaptasi perkembangan yang terjadi di dunia Internasional tanpa harus menghilangkan nilai-nilai nasional.[4]
















BAB III
KESIMPULAN
Setelah mengetahui alasan dan pentingnya pembaharuan hukum pidana yang telah dikemukakan diatas. Hendaknya kita sebagai penggiat hukum, harus bisa menciptakan pembaharuan-pembaharuan didalam penciptaan hukum pidana. Sehingga kesalahan-kesalahan didalam pelaksanaan itu dapat dihilangkan.
Selain itu juga harus dipertimbangkan urgensi dibentuknya KUHP nasional karena merupakan suatu kebanggaan tersendiri mempunyai KUHP nasional yang berasal dari bangsa kita sendiri.



[1] http://weli14.wordpress.com/2009/12/27/kebijakan-kriminalisasi-cybercrime/
[2] Sudarto, Hukum Pidana Dan Perkembangan Masyarakat (Kajian Terhadap
Pembaharuan Hukum Pidana), Sinar Baru, Bandung, 1983.
[3] Ibid
[4] Muladi. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang. 1995.

Sejarah Perkembangan Politik Dalam Islam


BAb I
Pendahuluan
A.      Latarbelakang Masalah
Pada masa rasulullah masih hidup, yang bertindak sebagai pemutus perkara dan pelerai pertikaian dalam masyarakat adalah beliau sendiri. Beliau sebagai referensi tertinggi untuk meminta fatwa dan keputusan. Keputusan beliau itu didasarkan atas  wahyu atau sunnah, termasuk musyawarah dengan para sahabat. Sehingga pada masa nabi, setiap persoalan dapat dengan mudah dikembalikan kepada rasulullah.
Dengan wafatnya nabi muhammad, berhentilah wahyu yang turun selama 22 tahun 2 bulan 22 hari yang beliau terima dari malaikat jibril baik sewaktu beliau masih berada di makkah maupun setelah hijrah ke madinah. Demikian juga halnya dengan sunnah, berakhir dengan meninggalnya rasulullah itu. Kedudukan nabi Muhammad sebagai utusan tuhan tidak mungkin diganti, tapi tugas beliau sebagai pemimpin masyarakat islam dan kepala Negara harus dilanjutkan oleh orang lain. Maka dengan demikian timbullah permasalahan tentang bagaimana cara pemutus dan pelerai perkara dilaksanakan, dan siapakan yang mempunyai wewenang untuk memutuskan perkara tersebut.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana penetapan hukum pada masa Nabi?
2.      Apa sebab-sebab timbulnya keputusan hukum pada masa Nabi?
3.      Bagaimana keputusan hukum pada masa Khulafa’ur Rasyidin?


BAb II
Pembahasan

A.      Penetapan Hukum Pada Masa Nabi Muhammad S.A.W.

Nabi dalam membina Hukum Islam yaitu dengan cara Tadrij, yaitu dengna cara berangsur-angsur satu demi satu, bukan sekaligus, dan bukan pula dengan jalan membuat-buat hukum sebelum ada kejadian yang memerlukan hukum, bukan dengan membayang-bayangkan kejadian-kejadian yang belum terjadi, dan hukum- hukum yang telah ditetapkan Nabi itu tidak dibukukan satu persatu sebagaimana yang dilakukan oleh para ahli sekarang.

Nabi SAW menetapkan hukum dan Undang-undang pergaulan dengan berangsur-angsur berdasarkan putaran roda kehidupan masyarakat yang kian hari, kian maju.

Sedangkan kekuasaan dalam menetapkan hukum pada masa Nabi ini, langsung dari tangan Nabi sendiri, tidak seorangpun yang turut campur tangan dengan urusan ini. Sandaran Nabi dalam hal ini ialah wahyu dari Allah SWT dan penetapan-penetapan Nabi yang kembali kepada Wahyu Allah SWT, juga bersifat mentafsilkan, mentaqyidkan, dan mentachsiskan wahyu, lantaran demikian tak ada jalan yang menimbulkan perbedaan pendapat dikalangan sahabat.  [1]

B.       Sebab-Sebab Timbulnya Keputusan Pada Masa Nabi
Sebab timbulnya keputusan Rosulullah SAW pada masa itu adalah karena kaum Muslimin pada masa itu apabila menghadapi suatu problema atau kejadian yang diperlukan hukumnya, mereka segera menanyakan kepada Nabi, dan Nabi-pun menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakan kepadanya dengan dasar sebagai berikut :
1.      Firman Allah (wahyu) yang diturunkan kepadanya,
2.      Dengan menggunakan Hadits Nabi sendiiri.
Hukum itu terkadang dikemukakan dengan praktek, terkadang juga seorang Sahabat mengerjakan sesuatu dihadapan Nabi, lalu Nabi membiarkannya. Dan jawaban Nabi yang didasarkan kepada ketetapan Nabi sendiri, maka hakikatnya dari wahyu juga, sebagaimana sesuai dengan firman Allah SWT :
$tBur ß,ÏÜZtƒ Ç`tã #uqolù;$# ÇÌÈ   ÷bÎ) uqèd žwÎ) ÖÓórur 4ÓyrqムÇÍÈ    
dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (An-Najm : 3,4)[2]
C.      Keputusan Hukum Pada Masa Khulafaur Rasyidin.
Pada masa ini sumber  tasyri’ islam adalah alquran dan sunnah rasul. Keduanya disebut nash atau naql. Apabila  ada masalah yang tidak jelas di dalam nash, para sahabat zamn khulafaurrasyidin memakai ijtihad untuk memperolah hukum yang dicari. Jalan dalam ijtihadnya adalah berpegang pada ma’quul-annash dan mengeluarkan illah atau hikmah yang dimaksud dari pada nash itu, kemudian menerapkannya pada semua masalah yang sesuai illahnya dengan illah yang dinashkan. Hal demikian kemudian dinamakan qiyash.[6] Dalam hal lain para sahabat bermusyawarah dalam mencari hukum yang tidak ada nashnya, kemudian mereka sepakat dalam hukum yang mereka temukan dalam suatu masalah itu, yang kemudian dinamai dengan al-ijmaa’.Para ulama telah menyebutkan bahwa dari praktek khlafaurrasyidin itu terdapat perluasan dasar tasyri’ islam disamping khulafaur-rasyidin itu terdapat juga alqiyaash dan al ijma’.
Sumber hukum islam yang dipakai pada masa khulafaurrasyidin adalah :
1.   Alquran
2.   Sunnah Nabi
3.   Ijtihad shahabat (ijma’ dan Qiyas/Ro’yu)[3]


1.      Alquran dan Sunnah
Sepeninggal nabi, terjadi banyak permasalahan yang muncul dan harus dipecahkan. Padahal,  para sahabat tidak bisa lagi  menanyakan penyelesaian masalah pada nabi karena nabi telah wafat. Sehingga,  mereka sendirilah yang harus memutuskan penyelesaian masalah tersebut. Keharusan untuk menyelesaiakan permasalahan yang terjadi ini mendorong umat islam untuk menyelidiki Alquran dan Sunnah. Dalam berfatwa, para sahabat selalu berpegang pada :
a.       Alquran, karena dialah asas dan tiang agama. Mereka selalu memahaminya dengan jelas dan terang karena Alquran diturunkan dengan lidah (bahasa) mereka serta keistimewaan mereka mengetahui sebab-sebab turunnya dan ketika itu belum seorangpun selain Arab telah masuk di kalangan mereka.
b.      Sunnah rasulullah. Para sahabat telah sepakat untuk mengikuti sunnah nabi kapan saja mereka mendapatkannya dan percara pada perawi yang benar periwayatannya.[4]

2.      Ijtihad Shahabat
Namun ternyata ada masalah  yang tidak ditemukan penyelesaiannya dalam Alquran dan Sunnah. Hal ini disebabkan karena       pada masa nabi, wilayah kekuasaan islam hanya sebatas semenanjung arabia. Tapi pada masa khulafaur rasyidin, kekuasaan islam mulai meluas dan membentang keluar dari jazirah arab, meliputi: Mesir, Syiria, Persia dan Irak[5]. Luasnya wilayah tersebut menyebabkan kaum Muslimin menghadapi banyak kejadian dan persoalan yang belum pernah dialami pada masa nabi. Hal ini mendorong umat muslim untuk berijitihad, yakni mengerahkan kesungguhan dalam mengeluarkan hukum syara’ dari apa yang dianggap syari’ sebagai dalil yaitu kitabullah dan sunnah nabinya. Ijtihad para sahabat dalam arti luas adalah bahwa mereka melihat dilalah (indikasi), menganalogi, menganggap hal-hal lain dan lain sebagainya.[6]
Ijtihad ada dua:
1.      Mengambil hukum dari dzahir-dzahir nash apabila hukum itu diperoleh dari nash-nash itu.
2.      Mengambil hukum dari ma’qul nash karena nash itu mengandung illat yang menerangkannya, atau illat itu dapat diketahui dan tempat kejadiannya yang di dalamnya mengandung  illat, sedang nash tidak memuat hukum itu.

Sedangkan Sebab-sebab adanya ijtihad yaitu :
Sebelum adanya ijtihad dan qiyas itu perlu dijelaskan terlebih dahulu yaitu tentang pemahaman dalil-dalil
Dalil-dalil itu terbagi menjadi dua macam
1.      Dalil yang bersifat Qath’i ( pasti dan jelas)
2.      Dalil yang bersifat dhanni (perkiraan dan dugaan berat)
Kalau pada dalil yang bersifat Qath’i, itu sudah pasti jelas maksud dan hukumnya. Sedangkan pada dalil yang bersifat dhanni ini masih bisa menimbulkan berbagai macam penafsiran-penafsiran, disebabkan karena pada dalil-dalil yang bersifat dhanni ini terdapat ketidakjelasan tentang maksud dan hukumnya. Dalil yang bersifat dzonni inilah para ulama membuat istilah ijtihad dan qiyas, dengan tujuan untuk menafsirkan maksud dan hukum yang terdapat pada dalil-dalil dzanni tersebut.


3.      Ijma’
Ijtihad pada masa itu berbentuk kolektif, disamping individual. Dalam melakukan ijtihad kolektif, para sahabat berkumpul dan memusyawarahkan hokum suatu masalah. Hasil musyawaroh sahabat ini disebut ijma’ Kemudian rasulullah telah menyediakan metode-metode buat ijtihad bagi mereka, melatih dan meridhoi mereka serta menetapkan pahala ijtihadnya baik salah maupun benar. Tentang ijtihad itu boleh dipakai berdasarkan dalil bahwa seorang hakim ketika ia berijtihad dalam menetapkan sebuah hukum kemudian benar hasilnya, maka ia mendapatkan dua pahala. Adapun ketika salah ia mendapatkan satu pahala.
Sebagaimana diriwayatkan Al-Baghawi yang diterima dari maimun bin Mahram, yaitu suatu gambaran cara-cara mereka melakukan istinbath hukum, ia berkata : apabila suatu perselihan di ajukan kepada abu bakar, maka ia lihat kitab Allah. Apabila di temukan di sana hukum yang dapat memutuskan masalah yang terjadi di antar mereka, maka ia putuskan dengan hukum tersebut. Bila tidak ditemukan dalm kitab Allah, ia ketahui dari sunnah rasul tantang masalah itu, maka ia putuskan dengan sunnah tersebut. Bila tidak di temukan jaga ia keluar dan bertanya pada kaum muslimin: suatu masalah di ajukan padaku…lalu apakah kalian mengetahui bahwa nabi pernah memutuskan suatu hukum dalam masalah ini? Terkadang semua golongan berkumpul dan menuturkan suatu kepusan dari rasulullah.Bila tidak di temukan jaga dari sunnah rasul, maka ia kumpulkan tokoh-tokoh masyarakat dan orang-orang terpilih untuk bermusyawarah, apabila di peroleh kesepakatan hukumnya, maka ia putuskan masalah tersebut dengan hasil kesepakatan itu.
Langkah-langkah yang ditempuh Abu Bakar dalam mengambil keputusan adalah sebagai berikut
a)      Mencari ketentuan hukum dalam Alquran. Apabila ada, ia putuskan berdasarkan ketetapan yang ada dalam Alquran.
b)      Apabila tidak menemukannya dalam Alquran, ia mencari ketentuan hukum dalam Sunnah. Bila ada, ia putuskan berdasarkan ketetapan yang ada pada sunnah.
c)      Apabila tidak menemukannya dalam Sunnah, ia bertanya kepada sahabat lain apakah rasulullah telah memutuskan persoalan yang sama pada zamannya. Jika ada yang tahu, ia memutuskan persoalan tersebut berdasarkan keterangan dari yang menjawab setelah memenuhi beberapa syarat.
d)     Jika tidak ada sahabat yang memberikan keterangan, ia mengumpulkan para pembesar sahabat dan bermusyawarah untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi. Jika ada kesepakatan diantara mereka, ia menjadikan kesepakatan itu sebagai keputusan.

4.      Ro’yu
Untuk menjawab persoalan hukum yang baru muncul itu para sahabat terlebih dahulu menunjuk kepada Alquran dan Al-hadist. Namun bila para sahabat tidak menemukan ketetapan hukum dari dua sumber hukum yang dimaksud, maka disitulah para sahabat menggunakan akal pikiran (ra’yu) yang dijiwai oleh ajaran islam. Sebagai contoh dapat diungkapkan siapa yang menjadi khalifah sesudah Nabi Muhammad meninggal dunia. Permasalahan ini diselesaikan berdasarkan qiyas atas posisi Abu Bakar sebagi pengganti nabi menjadi Imam shalat ketika nabi tidak dapat menjadi imam karena sakit. Tentang qiyas boleh di pakai selama tidak menyalahi dalil yang shohih. Hanya saja mereka menyebut kata ra’yu (pendapat) terhadap sesuatu yang dipertimbangkan oleh hati setelah berpikir, mengamati, dan mencari untuk mengetahui sisi kebenaran dari tanda-tanda yang terlihat. Sebagaimana didefinisikan oleh Ibnu Qayyim. Dengan demikian, menurut mereka ra’yu tidak sebatas qiyas(analogi) saja, sebagaimana dikenal sekarang, tetapi meliputi analogi, ihtisan, Baraah, Ashliyah, Saddu Dzara’i dan Maslahah al-Mursalah.



[1] Zainuddin Ali, Sejarah Perkembangan Hukum  Islam, Kencana Prenada Media, 2007, Jakarta, Hal 32.
[2] Q.S. An-Najm ayat 3-4.
[3] Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, cet 2, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), hal 41.
[4] Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam,……., hal 37
[5] Ibid hal 58
[6] Ibid hal 60.