RSS Feed

Total Tayangan Halaman

Selasa, 20 Maret 2012

Sewa Guna Atau Leasing

BAB I
PENDAHULUAN

Kehadiran lembaga leasing di Indonesia dapat dikatakan masih relative baru. Oleh karenanya tidak mengherankan apabila masyarakat luas masih banyak yang be1um memaharni fungsi dan peranan lembaga leasing dalam menunjang pembangunan perekonomian Nasional.
Pada awalnya, tepatnya tanggal 2 Juli 1982 telah dibentuk Asosiasi Leasing Indonesia (ALI) yang berkedudukan di Jakarta sebagai satu-satunya wadah komunikasi bagi perusahaan-perusahaan leasing di Indonesia. Di sini mereka secara bersama-sama membicarakan dan memecahkan berbagai masalah yang dihadapi. ALI juga hadir untuk memperjuangkan kepentingan anggotanya kepada pemerintah. Di sisi lain, organisasi ini juga bermaksud menjadi jembatan untuk meneruskan keinginan dan bimbingan pemerintah kepada para anggota.
Sederet sasaran ideal menjadi tujuan didirikannya ALI. Paling tidak, ada lima tujuan utama organisasi ini. Di antaranya memajukan dan mengembangkan peranan lembaga pembiayaan di Indonesia serta memberikan sumbangsih bagi kemajuan perekonomian Nasional.
Dalam perjalanan sejarahnya, ALI mengalami pasang naik dan pasang surut. Para pengurus yang silih-berganti berupaya memberikan yang terbaik guna pemecahan, kemajuan dan perkembangannya. Sejak didirikan, tercatat sudah 12 kali terjadi pergantian kepengurusan. Sebetulnya, periodisasi kepengurusan ditetapkan tiap dua tahun. Namun dalam beberapa kasus, terjadi pergantian kepengurusan sebelum masa jabatan berakhir.
Sebagai sesama industri keuangan, perkembangan industri leasing relatif tertinggal dibandingkan yang lain, perbankan, misalnya. Meski demikian, perusahaan pembiayaan juga mampu berkembang cukup mengesankan. Hingga saat ini leasing di Indonesia telah ikut berkiprah dalam pembiayaan perusahaan. Jenis barang yang dibiayai pun terus meningkat. Jika sebelumnya hanya terfokus pada pembiayaan transportasi, kini berkembang pada keperluan kantor, manufaktur, konstruksi dan pertanian. Hal ini mengindikasikan multi finance kian dikenal pelaku usaha nasional.
Leasing semakin banyak dan kompleks, oleh karena itu dalam makalah ini kami akan berusaha  membahas lebih lanjut pengertian, fungsi dan masalah yang timbul akibat leasing.

BAB II
PENJELASAN

A.    Pengertian Leasing
Kata leasing sebenarnya berasal dari kata to lease yang bearti menyewakan. Pengertian leasing menurut surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Perdagangan dan Industri Republik Indonesia No. KEP- 122/MK/IV/2/1974, Nomor 32/M/SK/2/1974, dan Nomor 30/Kpb/I/1974 tanggal 7 Februari 1974 adalah: ”Setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang-barang modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan untuk jangka waktu tertentu, berdasarkan pembayaran-pembayaran secara berkala disertai dengan hak pilih bagi perusahaan tersebut untuk membeli barang-barang modal yang bersangkutan atau memperpanjang jangka waktu leasing berdasarkan nilai sisa uang telah disepakati bersama”.
Equipment Leasing Association di London memberikan definisi leasing sebagai berikut: “Leasing adalah perjanjian antara lessor dan lessee untuk menyewa sesuatu atas barang modal tertentu yang dipilih/ditentukan oleh lessee. Hak pemilikan barang modal tersebut ada pada lessor sedangkan lessee hanya menggunakan barang modal tersebut berdasarkan pembayaran uang sewa yang telah ditentukandalam jangka waktu tertentu”.
Adapula pengertian Leasing menurut Prof.R.Subekti, S.H. di dalam bukunya `Aneka Perjanjian`, adalah tidak lain dari pada perjanjian sewa – menyewa yang telah berkembang di kalangan para pengusaha, dimana ”lessor” menyewakan suatu perangkat alat perusahaan (mesin – mesin) termasuk service, pemeliharaan dan lain – lain kepada ”lessee” untuk suatu jangka waktu tertentu.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka pada prinsipnya pengertian leasing terdiri dari beberapa elemen di bawah ini:
1. Pembiayaan perusahaan
2. Penyediaan barang-barang modal
3. Jangka waktu tertentu
4. Pembayaran secara berkala
5. Adanya hak pilih (option right)
6. Adanya nilai sisa yang disepakati bersama
7. Adanya pihak lessor
8. Adanya pihak lessee

Di Indonesia leasing baru dikenal melalui surat keputusan bersama Menteri Keuangan dan Menteri Perdagangan Republik Indonesia dengan No.KEP-122/MK/IV/2/1974, No.32/M/SK/2/1974, dan No.30/Kpb/I/1974 tanggal 7 Februari 1974 tentang perizinan usaha leasing. Leasing sebagai suatu jenis kegiatan dapat dikatakan masih baru atau muda dalam kegiatan yang dilakukan di Indonesia, yaitu baru dipakai pada tahun 1974. Di Indonesia sendiri sudah ada beberapa perusahaan leasing yang statusnya sebagai suatu lembaga keuangan non bank. Sejalan dengan perkembangan waktu dan perekonomian Indonesia permasalahan yang melibatkan leasing semakin banyak dan kompleks. Mulai dari jenis leasing yang paling sederhana sampai yang rumit.
Industri leasing terus berkembang pesat di Indonesia pada tahun delapan puluhan dan kehadirannya telah dirasakan peranannya oleh kalangan bisnis. Sejalan dengan itu perhatian terhadap leasing menjadi makin besar, tidak hanya di lembaga bisnis tetapi juga di kalangan pemerintah dan pendidikan.
Pada dasarnya tujuan utama dari leasing adalah memperoleh hak untuk memakai benda milik orang lain. Latar belakang tujuan ini ada1ah berdasarkan berbagai pertirnbangan ekonomi berkenaan dengan pilihan-pilihan yang harus dilakukan oleh badan usaha. Apabila suatu badan usaha memerlukan alat-alat produksi atau barang-barang modal, maka pertama kali badan usaha tersebut harus menghadapi pilihan antara lain adalah memperoleh hak untuk memakai suatu benda tersebut dengan sekaligus memperoleh hak milik atas benda tersebut.
Di dalam transaksi leasing barang yang menjadi objek lease adalah masih menjadi milik lessor. Hak kepemilikan ini berlangsung terus sampai akhir masa kontrak leasing, dan hak tersebut akan berpindah kepada lessee jika lessee melakukan hak opsinya untuk membe1i barang tersebut. Atas barang yang masih menjadi miliknya ini tentu pihak lessor menginginkan adanya suatu proteksi terhadap keamanan dan keutuhannya. Dalam hal ini asuransi merupakan salah satu sarana yang bisa melindungi kepentingan lessor tersebut. Lessee adalah pihak yang bertanggung jawab atas biaya asuransi barang yang menjadi objek lease.
Di dalam perjanjian leasing, proteksi lessor yang berupa keharusan lessee untuk mengasuransikan barang tersebut telah dituangkan dalam pasal-pasal tersendiri. Sebagai konsekuensi dari status pemilikan barang yang masih ada pada lessor, apabila ada terjadi sesuatu atas barang tersebut dan kemudian perusahaan asuransi memberi ganti kerugian maka ganti kerugian tersebut harus diberikan kepada lessor. Dalam realitasnya, leasing merupakan suatu akad untuk menyewa sesuatu barang dalam kurun waktu tertentu.
B.     Dasar Hukum Leasing
            Di Indonesia leasing baru dikenal melalui surat keputusan bersama Menteri Keuangan dan Menteri Perdagangan Republik Indonesia dengan No.KEP-122/MK/IV/2/1974, No.32/M/SK/2/1974, dan No.30/Kpb/I/1974 tanggal 7 Februari 1974 tentang perizinan usaha leasing.
            Kemudian, melalui Keputusan Presiden (Keppres) No.61/1988, yang ditindaklanjuti dengan SK Menteri Keuangan No. 1251/KMK.013/1988, pemerintah membuka lebih luas lagi bagi bisnis pembiayaan, dengan cakupan kegiatan meliputi leasing, factoring, consumer finance, modal ventura dan kartu kredit.
            Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1169/KMK.01/1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing);
            Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan.
            Ketentuan minimum modal disetor untuk pendirian suatu perusahaan pembiayaan yang melakukan kegiatan usaha leasing diatur  dalam Pakdes 20, 1988 dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 1251/KMK.013/1988  tanggal 20 Desember 1988, dengan jumlah modal disetor atau simpanan wajib dan pokok ditetapkan sebagai berikut:
Ø  Perusahaan swasta nasional sebesar Rp. 3 milyar
Ø  Perusahaan patungan Indonesia- asing sebesar Rp. 10 milyar
Ø  Koperasi sebesar Rp. 3 milyar.

C.     Fungsi Leasing
            Fungsi leasing sebenarnya hampir setingkat dengan bank, yaitu sebagai suatu sumber pembiayaan jangka menengah (dari satu tahun sampai lima tahun). Sampai saat ini belum ada Undang-undang khusus yang mengatur tentang leasing. Namun demikian, praktek bisnis leasing telah berkembang dengan cepat, dan untuk mengantisipasi kebutuhan agar secara hukum mempunyai pegangan yang jelas dan pasti.
            Munculnya lembaga leasing merupakan alternatif yang menarik bagi para pengusaha karena saat ini mereka cenderung menggunakan dana rupiah tunai untuk kegiatan operasional perusahaan. Melalui leasing mereka bisa memperoleh dana untuk membiayai pembelian barang-barang modal dengan jangka waktu pengembalian antara tiga tahun hingga lima tahun atau lebih.
            Disamping hal tersebut di atas para pengusaha juga memperoleh keuntungan-keuntungan lainnya seperti kemudahan dalam pengurusan, dan adanya hak opsi.Suatu keuntungan lain jika ditinjau dari laporan keuangan fiskal adalah transaksi capital lease diperhitungkan sebagai operational lease pembayaran lease dianggap sebagai biaya mengurangi pendapatan kena pajak. Tetapi tidak begitu halnya jika ditinjau dari segi komersial. Secara umum leasing artinya Equipment funding, yaitu pembiayaan peralatan/barang modal untuk digunakan pada proses produksi suatu perusahaan baik secara langsung maupun tidak langsung.
            Sebagai suatu alternatif sumber pembiayaan modal bagi perusahaan-perusahaan, maka leasing didukung oleh keuntungan-keuntungan sebagai berikut:
1.      Fleksibel, artinya struktur kontrak dapat disesuaikan dengan kebutuhan perusahaan yaitu besarnya pembayaran atau periode lease dapat diatur sedemikian rupa sesuai dengan kondisi perusahaan.
2.      Tidak diperlukan jaminan, karena hak kepemilikan sah atas aktiva yang di lease serta pengaturan pembayaran lease sesuai dengan pendapatan yang dihasilkan oleh aktiva yang dilease sudah merupakan jaminan bagi lease itu sendiri.
3.      Capital saving, yaitu tidak menyediakan dana yang besar, maksimum hanya menyediakan down payment yang jumlahnya dalam kebiasaan lease tidak terlalu besar, jadi dalam hal ini bisa dikatakan menjadi suatu penghematan modal bagi lessee, yaitu lessee dapat menggunakan modal yang tersedia untuk keperluan lain. Karena leasing umumnya membiayai 100% barang modal yang dibutuhkan.
4.      Cepat dalam pelayanan, artinya secara prosedur leasing lebih sederhana dan relatif lebih cepat dalam realisasi pembiayaan bila dibandingkan dengan kredit investasi bank, jadi tanpa prosedur yang rumit dan hal itu memberikan kemudahan bagi para pengusaha untuk memperoleh mesin-mesin dan peralatan yang mutakhir untuk memungkinkan dibukanya suatu bidang usaha produksi yang baru atau untuk memodernisasi perusahaan.
5.      Pembayaran angsuran lease diperlakukan sebagai biaya operasional, artinya pembayaran lease langsung dihitung sebagai biaya dalam penentuan laba rugi perusahaan, jadi pembayarannya dihitung dari pendapatan sebelum pajak, bukan dari laba yang terkena pajak.
6.      Sebagai pelindung terhadap inflasi, artinya terhindar dari resiko penurunan nilai uang yang disebabkan oleh inflasi, yaitu lessee sampai kapan pun tetap membayar dengan satuan moneter yang lalu terhadap sisa kewajibannya.
7.      Adanya hak opsi bagi lessee pada akhir masa lease.
8.      Adanya kepastian hukum, artinya suatu perjanjian leasing tidak dapat dibatalkan dalam keadaan keuangan umum yang sangat sulit, sehingga dalam keadaan keuangan atau moneter yang sesulit apapun perjanjian leasing tetap berlaku.
9.      Terkadang leasing merupakan satu-satunya cara untuk mendapatkan aktiva bagi suatu perusahaan, terutama perusahaan ekonomi lemah, untuk dapat memodernisasi pabriknya.

D.    Sanksi Pelanggaran Perjanjian Leasing
Leasing apabila ditinjau dari sudut ilmu hukum adalah bagian dari hukum perdata, karena terikat oleh ketentuan buku III KUHPerdata yang mengatur perihal hubungan-hubungan hukum antara orang dengan orang berdasarkan suatu perikatan, yaitu suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang, yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut sesuatu (suatu barang) dari yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu.
Dari perikatan yang lahir karena adanya kata sepakat tersebut, selanjutnya direalisasikan kedalam bentuk suatu perjanjian tertulis, yang pada akhirnya akan menimbulkan hak dan kewajiban y ang berimbang bagi para pihak yang membuat perjanjian dimaksud, artinya keseimbangan untuk mendapatkan kesempatan yang sama dengan tujuan memperoleh suatu hasil yang adil dan patut.
Menurut KUHPerdata tentang perjanjian leasing pasal 1553, berbunyi sebagai berikut:
“Jika selama waktu sewa, barang yang disewakan sama sekali musnah karena suatu kejadian yang tak disengaja, maka persetujuan sewa gugur demi hukum. Jika barangnya hanya sebagian musnah, si penyewa dapat memilih, menurut keadaan, apakah ia akan meminta pengurangan harga sewa ataukah ia akan meminta bahkan pembatalan persetujuannya sewa, tetapi tidak dalam satu kedua hal itupun ia berhak atas suatu ganti rugi”.
Selain dari pada itu juga di dalam Surat Keputusan Menteri Keuangan no. 1169/KMK.01/1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing) diatur sedikit mengenai masalah resiko:
“Ketentuan mengenai pengakhiran transaksi sewa guna usaha yang dipercepat, dan penetapan kerugian yang harus ditanggung Lessee dalam hal barang modal yang disewa guna dengan hak opsi hilang rusak atau tidak berfungsi karena sebab apapun.”
Kata-kata “karena sebab apapun” dalam ketentuan di atas dapat disamakan dengan keadaan memaksa. Jadi dengan demikian mengenai keadaan memaksa seharusnya dicantumkan dalam klausul perjanjian leasing. Akan tetapi mengenai siapa yang harus bertanggung jawab sepenuhnya atas keadaan memaksa tersebut tidak dapat sepenuhnya atas keadaan memaksa tersebut tidak dapat diambil suatu kesimpulan.
Kalaupun hal tersebut dapat ditafsirkan akan timbul dua kemungkinan, yaitu :
1. Kerugian harus ditanggung oleh pihak lessee.
2. Kerugian harus ditanggung oleh kedua belah pihak.
Dalam prakteknya ternyata pihak lessor mengambil kemungkinan pertama untuk dicantumkan dalam klausul perjanjian leasing. Jadi pihak lessee bertanggung jawab atas barang yang menjadi objek leasing.
Karena masuk ranah hokum perdata maka sanksi yang diberikan kepada pihak yang melakukan wanprestasi, menurut ketentuan pasal 1234 KUHPerdata ada tiga kemungkinan:
1.      Memberikan sesuatu
2.      Berbuat sesuatu
3.      Tidak memberikan dan berbuat sesuatu


BAB III
PENUTUP

Kesimpulan:
Leasing atau sewa-guna-usaha adalah setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang-barang modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan untuk jangka waktu tertentu, berdasarkan pembayaran-pembayaran secara berkala disertai dengan hak pilih bagi perusahaan tersebut untuk membeli barang-barang modal yang bersangkutan atau memperpanjang jangka waktu leasing berdasarkan nilai sisa uang yang telah disepakati bersama.
Dengan melakukan leasing perusahaan dapat memperoleh barang modal dengan jalan sewa beli untuk dapat langsung digunakan berproduksi, yang dapat diangsur setiap bulan, triwulan atau enam bulan sekali kepada pihak lessor. Dalam hal leasing ini jika dilaksanakan dengan baik sesuai dengan mekanisme yang berlaku maka system leasing memberikan peluang menarik bagi pengusaha, karena mempunyai keunggulan –keunggulan – keunggulan, yaitu:
1. Proses pengadaan peralatan modal relative lebih cepat dan tidak memerlukan jaminan kebendaaan, prosedurnya sedehana dan tidak ada keharusan melakukan studi kelayakan yang memakan waktu lama.
2. Pengadaaan kebutuhan modal dan alat-alat berat dan mahal dengan tekhnologi tinggi amat meringankan terghadap kebutuhan cash flow mengingat system pembayaran cicilan yang jangka panjang.
3. Posisi cash flow perusahaan akan lebih baik dan biaya – biaya modal menjadi lebih mudah dan menarik.
4. Perencanaan keuangan perusahaan lebih mudah dan sederhana.

Saran:
Dalam hal mekanisme leasing sebagai salah satu pembayaran dalam lembaga pembiayaan maka penulis memberikan saran kepada para pembaca atau pengguna leasing untuk sesuai dengan mekanisme yang ada dalam perjanjian leasing yang belaku di Indonesia.



DAFTAR PUSTAKA

Abdul Kadir Muhammad. 1999. Hukum Perusahaan Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bhakti.
Djambatan/Asyhadie Zaeni. 2005. Hukum Bisnis Prinsip dan pelaksanaannya di Indonesia, Jakarta: raja grawindo persada

    Senin, 19 Maret 2012

    Pesan Ibu Kepada Anaknya


    Jika aku tua nanti, bukan seperti aku yang dahulu
    Mengertilah terhadapku
    Jika aku lupa cara mengikat sepatuku ,
    Ingatlah saat ku dulu mengajarimu

    Kalau aku berulang-ulang mengatakan sesuatu,
    Bersabarlah mendengarkanku
    Jangan memutus pembicaraanku
    Walau sudah bosan telingamu

    Jika aku seketika lupa pembicaraan kita,
    Berilah aku waktu untuk mengingatnya
    Bagiku, apa yang dibicarakan tidaklah penting
    Asal kau ada mendengarkan disamping

    Saat kau kecil aku harus mengulang cerita
    Yang telah beratus kali kubacakan agar kau tertidur dan gembira
    Jika aku tua nanti, rengkuhlah jemariku ini
    Beri aku perhatianmu yang tak pernah henti

    Kalau aku perlu kamu memandikanku, janganlah marah kepadaku
    Ingatlah, sewaktu kecil aku harus memakai seribu cara untuk membujukmu
    Kalau aku tak paham informasi dan hal baru, janganlah mengejekku
    Ingatlah dahulu aku harus bersabar menjawab setiap "mengapa" darimu

    Jika nanti aku lemah dan tak sanggup berjalan lagi,
    Ingatlah saat kau dulu belajar menapakkan kaki
    Ulurkanlah tanganmu yang masih kuat untuk memapahku
    Seperti saat aku dulu mendampingimu

    Kini, temani aku jalani sisa usiaku
    Berikan kasih tulus mu
    Kan ku balas dengan rasa syukurku
    Serta cinta tak terhingga untukmu.

    Jika aku tua nanti,
    Kelak kan tiba waktuku tuk pergi
    Panjatkanlah selalu doamu padaNya yang Maha Tinggi
    Karena permohonanmu kan melesat bagai cahaya dalam kuburku…menerangi

    Jangan kau tangisi dan ratapi aku dengan kesedihanmu
    Berdoa dan perbanyaklah amal baikmu
    Doa anak saleh yang kan membantu
    dan jadi pelita dalam kuburku

    Jadilah orang yang berbakti
    Isi hidup dengan hal yang berarti
    Agar kelak Dia kan mempertemukan kita kembali
    Ditaman surgaNya yang abadi….

    Kamis, 15 Maret 2012

    Makalah Lembaga Keuangan Syariah (Produk Dan Jasa Bank Syari'ah, Serta Ganti Rugi Dalam Penyelesaian Sengketa) )

    Tugas kelompok

    LEMBAGA KEUANGAN SYARI’AH
    (Produk Dan Jasa Bank Syari’ah, Serta Ganti Rugi Dalam Penyelesaian Sengketa)

    Disusun oleh:

    Nama          : Ari Widiyansyah         (092113008)
                       : Bisri Syamsuri   (092113009)
                       : Dian Trihidayati (092113010)
    Smt / jur     : III / Muamalah (MU)
    Dosen         : Chaidir Nasution, SH



    FAKULTAS SYARI’AH
    INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ( IAIN )
    RADEN INTAN LAMPUNG
    2010/2011


    BAB I
    PENDAHULUAN

                Perbankan syariah dikenal sebagai bank yang tidak menerapkan sistem bunga seperti bank konvensional lainnya, melainkan bagi hasil yang tidak saja berdimensi materiil belaka tetapi juga dituntut unsure inmateriilnya. Hal terakhir inilah yang menjadi cirri utama dalam pengelolaan keuangan syariah ini, karena akan berdampak pada pertanggung jawaban seseorang di dunia dan akhirat kelak. Oleh karena itu dalam pengelolaan ekonomi syariah kita mengenal beberapa sifat atau karakter yang harus dimiliki oleh seseorang yang diberi amanah, yaitu sidik amanah istiqomah fatonah dan tabliq.
                Adapun prinsip utama bank syariah adalah hartus menuju pada pengembangan kesejahteraan masyarakat. Pelayanan perbankkan syariah merupakan gabungan antara aspek moral dan aspek bisnis.
    Dalam operasionalnya bank syariah berada dalam beberapa koridor prinsip.

    BAB II
    PENJELASAN

    A.                 Bank Syariah

    Perbankan Syari'ah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syari'ah dan Unit Usaha-Usaha Syari'ah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usaha lainnya. Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa jenis bank jika dilihat dari cara menentukannya harga terbagi menjadi dua macam, yaitu bank yang berdasarkan konvensional dan bank yang berdasarkan prinsip syariah. Dan bank konvensional penentuan harga selalu didasarkan kepada bunga, sedangkan dalam bank syariah didasarkan kepada Konsep Islam, yaitu kerjasama dalam skema bagi hasil, baik untung maupun rugi.[1]
    Secara umum perbandingan anta umum perbandingan antara bank syariah dan bank konvensional, serta perbedaan antara bunga dan bagi hasil disajikan dalam tabel berikut:

    Tabel1. Perbandingan Antara Bank Syariah Dan Bank Konvensional

    Bank Syariah


    Bank Konvensional
    1
    Investasi yang halal
    1

    Investasi halal & haram
    2
    Prinsip bagi hasil, jual beli, atau sewa
    2

    Memakai perangkat bunga
    3
    Profit dan falah oriented
    3

    Profit oriented
    4
    Hubungan kemitraan
    4

    Hubungan debitor-kreditor
    5
    Penghimpunan dan penyaluran dana harus sesuai dengan fatwa Dewan Pengawas Syariah
    5

    Tidak terdapat dewan sejenis

     

    Tabel  2. Perbedaan Antara Bunga Dan Bagi Hasil


    Bunga

    Bagi Hasil
    1
    Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung
    1
    Penentuan besarnya rasio bagi hasil dibuat saat akad dengan pedoman pada kemungkinan untung & rugi
    2
    Besarnya persentase untung berdasarkan modal yang dipinjamkan
    2
    Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan jumlah untung yang diperoleh
    3
    Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan lainnya
    3
    Bagi hasil bergantung pada keuntungan atau kerugian proyek yang dijalankan
    4
    Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat walaupun jumlah keuntungan berlipat
    4
    Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pen-dapatan.
    5
    Eksistensi bunga diragukan
    5
    Tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil


    B.                 Produk Dan Jasa Bank Syariah

    Sama seperti halnya dengan bank konvensional, bank syariah juga menawarkan nasabah dengan bank konvensional adalah dalam produk perbankan. Hanya saja bedanya denga bank konvensional adalah dalam hal penentuan harga, baik terhadap harga jual maupun harga belinya. Produk-produk yang ditawarkan sudah tentu sangat Islami., termasuk dalam memberikan pelayanan kepada nasabahnya. Berikut ini jeis-jenis produk bank syariah yang ditawarkan adalah sebagai berikut:

    1.      Al-wadi’ah  (Simpanan)
    Al-Wadi’ah atau dikenal dengan nama titipan atau simpanan, merupakan titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik perorangan maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikain kapan saja bila si penitip menghendaki.
    Penerima sim­panan disebut yad al-amanah yang artinya tangan amanah. Si pe­nyimpan tidak bertanggung jawab atas segala kehilangan dan keru­sakan yang terjadi pada titipan selama hal itu bukan akibat dari kela­laian atau kecerobohan yang bersangkutan dalam memelihara barang titipan. Penggunaan uang titipan harus terlebih dulu meminta izin kepada si pemilik uang dan dengan catatan si pengguna uang menjamin akan mengembalikan uang ter­sebut secara utuh. Dengan demikian prinsip yad al-amanah (tangan amanah) menjadi yad adh-dhamanah (tangan penanggung). [2]
    Prinsip wadi'ah yang diterapkan adalah wadi'ah yad dhamanah yang diterapkan pada produk rekening giro. Wadh'ah dhamanah berbeda dengan wadi'ah amanah. Dalam wadi'ah amanah harta titipan tidak boleh dimanfaatkan oleh yang dititipi, sedangkan dhamanah yang dititipi (bank) boleh memanfaatkan harta titipan tersebut. Implikasi hukumnya sama dengan qardh, dimanan  nasabah meminjamkan uang kepada bank. Pemilik dana tidak mendapat imbalan tapi insentif yang tidak diperjanjikan. Dalam praktiknya nisbah antara bank (shahibul maal) dengan deposan (mudharib) biasanya bonus untuk giro wadiah sebesar 30%, nisbah 40%:60% untuk simpanan tabungan dan nisbah 45%:55% untuk simpanan deposito.

    2.      Pembiayaan Dengan Bagi Hasil

    a. Al-musyarakah (Partisipasi Modal)
    Al-musyarakah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau le­bih untuk melakukan usaha tertentu. Masing-masing pihak membe­rikan dana atau amal dengan kesepakatan bahwa keuntungan atau resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
    AI-musyarakah dalam praktik perbankan diaplikasikan dalam hal pembiayaan proyek. Dalam hal ini nasabah yang dibiayai dengan bank sama-sama menyediakan dana untuk melaksanakan proyek tersebut. Keuntungan dari proyek dibagi sesuai dengan kesepakatan untuk bank setelah terlebih dulu mengembalikan dana yang dipakai nasabah. Al-musyarakah dapat pula dilakukan untuk kegiatan investasi seperti pada lembaga keuangan modal ventura.[3]
    b.  AI-mudharabah
    Pengertian Mudharabah dapat didefinisikan sebagai sebuah akad atau perjanjian diantara dua belah pihak, dimana pihak pertama sebagai pemilik modal (shahib al-mal atau al-mal), memercayakan kepada pihak kedua atau pihak lain (pengusaha), untuk menjalankan suatu aktivitas atau usaha.[4] Apabila mengalami kerugian maka akan ditanggung pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian pengelola, maka sipengelolalah yang bertanggug jawab.[5]Dan didalam prktiknya mudharabah terbagi menjadi 2 macam, yakni:
    a)      mudharabah muthlaqah merupakan kerja sama antara pihak pertama dan pihak lain yang cakupannya lebih luas. Maksudnya tidak dibatasi oleh waktu, spesifikasi usaha dan daerah bisnis.
    b)      mudharabah muqayyadah merupakan kebalikan dari mudharabah muthlaqah di mana pihak lain dibatasi oleh waktu spesifikasi usaha dan daerah bisnis.
    Dalam dunia perbankan Al-mudharabah biasanya diaplikasikan pada produk pembiayaan atau pendanaan seperti, pembiayaan mo­dal kerja. Dana untuk kegiatan mudharabah diambil dari simpanan tabungan berjangka seperti tabungan haji atau tabungan kurban. Dana juga dapat dilakukan dari deposito biasa dan deposito spesial yang dititipkan [6]
    Dan keistmewaan dari sebuah mudharabah adalah pada peran ganda dari mudharib, yakni sebagai wakil (agen) sekaligus mitra. Mudharib adalah wakil dari rabb al- mal dalam setiap transaksi yang ia lakukan pada harta mudharabah. Mudharib kemudian menjadi mitra dari rabb al-mal ketika ada keuntungan.[7]
    c.     Al-muzara'ah
    Pengertian AI-muzara'ah adalah kerja sama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dengan penggarap. Pemilik lahan menyediakan lahan kepada penggarap untuk ditanami produk pertanian dengan imbalan bagian tertentu dari hasil panen. Dalam dunia perbankan ka­sus ini diaplikasikan untuk pembiayaan bidang plantation atas dasar bagi hasil panen.
    Pemilik lahan dalam hal ini menyediakan lahan, benih, dan pupuk. Sedangkan penggarap menyediakan keahlian, tenaga, dan waktu. Keuntungan diperoleh dari hasil panen dengan imbalan yang telah disepakati.[8]
    d. Al-musaqah
    Pengertian AI-musaqah merupakan bagian dari al-muza'arah yaitu penggarap hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan pe­meliharaan dengan menggunakan dana dan peralatan mereka sendiri. Imbalan tetap diperoleh dari persentase hasil panen pertanian. Jadi tetap dalam konteks adalah kerja sama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dengan penggarap.[9]
    3.      Bai'al Murabahah
    Pengertian Bai'al-Murabahah merupakan kegiatan jual beli pada harga pokok dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Dalam hal ini penjual harus terlebih dulu memberitahukan harga pokok yang ia beli ditambah keuntungan yang diinginkannya.
    Sebagai con­toh harga pokok barang "X" Rp 100.000,-. Keuntungan yang diharap­kan adalah sebesar Rp 5.000,-, sehingga harga jualnya Rp 105.000,-. Kegiatan Bai'al-Murabahah ini baru dilakukan setelah ada kesepa­katan dengan pembeli, baru kemudian dilakukan pemesanan. Dalam dunia perbankan kegiatan Bai'al-Murabahah pada pembiayaan pro­duk barang-barang investasi baik dalam negeri maupun luar negeri seperti Letter of credit atau lebih dikenal dengan nama L/C.[10]
    4.      Bai'as-Salam
    Bai'as-salam artinya pembelian barang yang diserahkan kemu­dian hari, sedangkan pembayaran dilakukan di muka. Prinsip yang harus dianut adalah harus diketahui terlebih dulu jenis, kualitas dan jumlah barang dan hukum awal pembayaran harus dalam bentuk uang.[11]
    5.      Bai'al Istishna'
    Bai' Al istishna' merupakan bentuk khusus dari akad Bai'as­salam, oleh karena itu ketentuan dalam Bai` Al istishna' mengikuti ketentuan dan aturan Bai'as-salam. Pengertian Bai' Al istishna' adalah kontrak penjualan antara pembeli dengan produsen (pembuat ba­rang). Kedua belah pihak harus saling menyetujui atau sepakat lebih dulu tentang harga dan sistem pembayaran. Kesepakatan harga dapat dilakukan tawar-menawar dan sistem pembayaran dapat dilakukan di muka atau secara angsuran per bulan atau di belakang.[12]
    6.      Al-Ijarah (Leasing)
    Pengertian Al-Ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas ba­rang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang itu sendiri. Dalam praktiknya kegiatan ini dilakukan oleh perusahaan leasing, baik untuk kegiatan operating lease maupun financial lease.[13]
    7.         Al-Wakalah (Amanat)
    Wakalah atau wakilah artinya penyerahan atau pendelegasian atau pemberian mandat dari satu pihak kepada pihak lain. Mandat ini harus dilakukan sesuai dengan yang telah disepakati oleh si pem­beri mandat.[14]
    8.         Al-Kafalah (Garansi)
    Al-Kafalah merupakan jaminan yang diberikan penanggung ke­pada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung. Dapat pula diartikan sebagai pengalihan tanggung jawab dari satu pihak kepada pihak lain. Dalam dunia perbankan dapat di­lakukan dalam hal pembiayaan dengan jaminan seseorang.[15]
    9.         Al-Hawalah
    Al-Hawalah merupakan pengalihan utang dari orang yang ber­utang kepada orang lain yang wajib menanggungnya. Atau dengan kata lain pemindahan beban utang dari satu pihak kepada lain pi­hak. Dalam dunia keuangan atau perbankan dikenal dengan kegiatan anjak piutang atau factoring.[16]
    10.       Ar-Rahn
    Ar-Rahn merupakan kegiatan menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Kegiatan seperti ini dilakukan seperti jaminan utang atau gadai.[17]
    Selain itu produk pemberian jasa lainnya, seperti:
    • Jasa penerbitan L/C
    • Jasa Transfer
    • Jasa Inkaso
    • Bank Garansi
    • Menerima Zakat, Infak, dan Sadaqoh (untuk disalurkan)[18]

    C.                 Risiko-risiko perbankan syriah
                Secara spesifik risiko-risiko yang akan menyebabakan bervariasinya tinngkat keuntungan bank meliputi risiko likuiditas, risiko kredit dan tingkat bunga, dan risiko modal. Namun demikian, bank syariah tidak akan menghadapi risiko bunga,walapun di lingkungan dimana berlaku dual banking system meningkatnya tingkat bunga di pasar konvensional dapat berdampak pada meningkatnya risiko berpindah ke bank konvensional.

    1. Risiko likuiditas
                Risiko likuiditas adalah risiko yang berkaitan dengan ketidak mampuan bank dalam memenuhi kewajiban yang telah jatuh tempo.risiko ini dapat dikategorikan sebagai berikut:
    1)      Risiko likuiditas pasar, yaitu risiko yang timbul karena bank tidak mampu melakukan offsetting posisi tertentu dengan harga pasar karena kondisilikuiditas pasar yang tidak memadai atau terjadi gangguan dipasar (market disruption).
    2)      Risiko likuiditas pendanaan, yaitu risiko yang timbul karena bank tidak mampu mencairkan asetnya atau memperoleh pendanaan dari sumber dana lain.

    Mengatur risiko likuiditas tidak mudah karna meliputi struktur pendanaan, expected cash flow, akses pasar, akses pasar, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, bank harus memperhatikan jumlah likuiditas yang tepat. Terlaqlu banyak likuiditas akan mengorbankan tingkat pendapatan dan terlalu sedikit akan berpotensi untuk meminjam dana dengan harga yang tidak dapat diketauhi sebelumnya, yang dapat berakibat meningkatnya biaya dan ahirnya menurunkan profitabilitas.
    Salah satu penyebab kebangkrutan suatu bank karena ketidak mampuanya dalam memenuhi kebutuhan likuiditasnya. Oleh karena itu, likuiditas yang tersedia harus cukup sehingga tidak mengganggu kebutuhan oprasional. Besar kecilnya suatu resiko sangat tergantung pada empat hal:
                Pertama, kecermatan perencanaan arus cash (cash flow) berdasarkan prediksi pembiayaan dan prediksi pertumbuhan dana, termasuk mencermati tingkat fluktuasi dana.
                Kedua, ketetapan dalam mengatur struktur dana, termasuk kecukupan dana-dana non-PLS.
                Ketiga, ketersediaan asset yang siap dikonversikan menjadi kas.
                Keempat, kemampuan menciptakan akses ke pasar antar bank atau sumber dana lainnya, termasuk fasilitas  lender of last resort.

    1. Risiko kredit (Credit Risk)
                Risiko kredit adalah risiko yang terjadi akibat kegagalan pihak lawan (counterparty) memenuhi kewajibannya, tidak bias memperoleh kembali cicilan pokok dan/atau bunga dari pinjaman yang diberikan atau investasi yang sedang dilakukannya. Sehingga mengakibatkan menurunnya pendapatan yang dapat merupakan akibat dari kerugian atas kredit(jual beli tangguh) atau kegagalan tagihan atas surat-surat berharga. Bank dapat mengendalikan risiko kredit melalaui pelaksanaan kegiatan usaha yang konservatif, meskipun terhadap bidang-bidang yang menjanjikan tingkat keuntungan yang sangat menarik.
                Risiko kredit dapat ditekan dengan cara member batas wewenang keputusan kredit bagi setiap aparat pengkreditan,berdasarkan kemampuannya dan batas jumlah kredit yang dapat diberikan pada pe4rusahaan atau usaha tertentu, serta melakukan diversifikasi.
                Penyebab utama risiko ini adalah bank terlalu mudah member pinjaman atau melakukan investasi. Hal ini dilakukan semata-mata untuk memanfaatkan klelebihan likuiditas sehingga penilaian kredit kurang cermat.

    1. Risiko Modal (Capital Risk)
                Risiko modal merefleksikan tingkat lavarage yang dipakai oleh bank. Salah satu fungsi modal adalah melindungi para penyimpan dana terhadap kerugian yang terjadi pada bank.
                Risiko  modal sangat terkait dengan kualitas asset bank menggunakan sebagian besar dananya pada asset yang beresiko perlu memiliki modal penyangga yang besar untuk sandaran bila kinerja asset-aset yang tidak baik.
    Penyelesaian Sengketa Perbankan Syari’ah. Dalam tulisan ini dijelaskan bahwa pada prinsipnya penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah di luar lembaga peradilan (non litigasi)  ada dua cara yang bisa ditempuh, yaitu melalui lembaga perdamaian (al-Shulh) dan melalui lembaga arbitrase (al-Tahkim). [19]
                Di Indonesia, lembaga perdamaian telah diakui keberadaannya melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaaian Sengketa. Dalam Undang-Undang tersebut dinyatakan bahwa negara memberi kebebasan kepada masyarakat untuk menyelesaikan masalah sengketa bisnisnya di luar lembaga peradilan, baik melalui konsultasi, mediasi, negosiasi, konsiliasi, atau penilaian para ahli.[20]
                 Sedangkan lembaga tahkim disini yang dimaksud adalah penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah melalui Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS ).
    Sementara itu dalam tulisan Dr. Rifyal Ka’bah yang berjudul” Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah Sebagai Sebuah Kewenangan Baru Peradilan Agama” yang termuat dalam Majalah Hukum Varia Peradilan tahun Ke XXI Nomor 245 April 2006, lebih banyak mambahas tentang pengalaman BASYARNAS dalam menyelesaian sengketa ekonomi syari’ah yang diajukan kepadanya, dimana didalam menyelesaiakan sengketa ekonomi syari’ah BASYARNAS  menggunakan  dua hukum yang berbeda, yakni hukum Islam seperti yang diformulasikan oleh DSN (Dewan Syari’ah Nasional) dan pasal-pasal dalam KUHPerdata. Hal ini dilakukan karena ketiadaan peraturan perUndang-Undangan tentang perbankan syari’ah secara khusus dan ekonomi syari’ah secara umum.[21]


    BAB III
    KESIMPULAN

    Perbankan Syari'ah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syari'ah dan Unit Usaha-Usaha Syari'ah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usaha lainnya.
    Sama seperti halnya dengan bank konvensional, bank syariah juga menawarkan nasabah dengan bank konvensional adalah dalam produk perbankan. Hanya saja bedanya denga bank konvensional adalah dalam hal penentuan harga, baik terhadap harga jual maupun harga belinya. Produk-produk yang ditawarkan sudah tentu sangat Islami., termasuk dalam memberikan pelayanan kepada nasabahnya. Berikut ini jeis-jenis produk bank syariah yang ditawarkan adalah sebagai berikut:
    1.      Al-wadi’ah  (Simpanan)
    2.      Pembiayaan Dengan Bagi Hasil
    3.      Bai'al Murabahah
    4.      Bai'as-Salam
    5.      Bai'al Istishna'
    6.      Al-Ijarah (Leasing)
    7.      Al-Wakalah (Amanat)
    8.      Al-Kafalah (Garansi)
    9.      Al-Hawalah
    10.  Ar-Rahn

    Secara spesifik risiko-risiko yang akan menyebabakan bervariasinya tinngkat keuntungan bank meliputi risiko likuiditas, risiko kredit dan tingkat bunga, dan risiko modal. Namun demikian, bank syariah tidak akan menghadapi risiko bunga,walapun di lingkungan dimana berlaku dual banking system meningkatnya tingkat bunga di pasar konvensional dapat berdampak pada meningkatnya risiko berpindah ke bank konvensional.


    [1] Kasmir,SE.,Bank & Lembaga Keuangan Lainnya; (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002),cetakan keenam., Hlm 177
    [2] Kasmir,SE.,Bank & Lembaga Keuangan Lainnya.,Ibid,., Hlm 179-180
    [3] Kasmir,SE.,Bank & Lembaga Keuangan Lainnya.,Ibid,., Hlm183
    [4] MervvynLewis dan Latifa Algaoud,Perbankan Syariah Prinsip,Praktik,Prospek,(Yakarta:Serambi,2001).Hlm 66.
    [5] Kasmir,SE.,Bank & Lembaga Keuangan Lainnya.,Ibid,., Hlm184
    [6] Ibid,., Hlm 185
    [7] MervvynLewis dan Latifa Algaoud,Perbankan Syariah Prinsip,Praktik,Prospek, Ibid Hlm 67
    [8] Kasmir,SE.,Bank & Lembaga Keuangan Lainnya.,Ibid,., Hlm185
    [9] Ibid,., Hlm 186
    [10] Ibid,., Hlm 186
    [11] Op cit., Hlm 186
    [12] Ibid,., Hlm 187
    [13] Ibid,., Hlm 188
    [14] Ibid,., Hlm 189
    [15] Op Cit., Hlm 189
    [16] Op Cit,Hlm 189
    [17] Op Cit,Hlm 189
    [18] Drs Muhammad, M.Ag, Bank Syariah Analisa Kekuatan, Peluang, Kelemahan, dan Ancaman,
    (Yogyakarta:Ekonesia,2006).Hlm 20
         [19] Dadan Muttaqien, Penyelesaian Sengketa Perbankan Syari’ah Di Luar Lembaga Peradilan, dalam Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun Ke XXIII NOMOR 266 Januari 2008 (Jakarta : IKAHI, 2008) Hal. 60.

         [20]Ibid.
         [21] Rifyal Ka'bah, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari'ah …,hal. 20.