RSS Feed

Total Tayangan Halaman

Kamis, 15 Maret 2012

Pengertian dan Landasan Hukum Bagi Hasil


 1.      Pengertian Bagi Hasil
Bagi hasil menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 2 tahun 1960 tentang perjanjian bagi hasil adalah “perjanjian dengan nama apapun juga yang diadakan antara pemilik pada satu fihak dan seseorang atau badan hukum pada lain fihak yang dalam undang-undang ini disebut "penggarap", berdasarkan perjanjian mana penggarap diperkenankan oleh pemilik tersebut untuk menyelenggarakan usaha pertanian diatas tanah pemilik, dengan pembagian hasilnya antara kedua belah fihak”.
Biarpun tidak disebut dengan nama yang sama, tetapi perjanjian penguasahaan tanah dengan bagi hasil umum dijumpai di Indonesia. Dalam perjanjian itu, yang hukumnya berlaku sebagai ketentuan-ketentuan hukum adat yang tidak tertulis, seseorang yang berhak atas suatu tanah, yang karena sesuatu sebab tidak dapat mengerjakannya sendiri, tetapi ingin tetap mendapat hasilnya, memperkenankan orang lain untuk menyelenggarakan usaha pertanian atas tanah tersebut, yang hasilnya dibagi antara mereka berdua menurut imbangan yang ditentukan sebelumnya. Orang yang berhak mengadakan perjanjian tersebut menurut hukumnya yang berlaku sekarang ini tidak saja terbatas pada pemilik tanah itu sendiri, tetapi juga orang-orang lain yang mempunyai hubungan hukum tertentu dengan tanah yang bersangkutan, misalnya pemegang gadai, penyewa, bahkan seorang penggarappun - yaitu fihak kedua yang mengadakan perjanjian bagi hasil - dalam batas-batas tertentu berhak pula berbuat demikian.
Sedangkan menurut syariah adalah Mudhorobah yaitu pemberi modal menyerahkan modal untuk dikelola oleh orang lain atau suatu badan dengan ketentuan yang telah disepakati.
Bagi hasil sendiri sudah dikenal dari zaman penjajahan belanda dimana para pemilik tanah memberikan hak untuk mengelola tanahnya kepada orang atau kelompok tani, Islam sendiri talah mengenal bagi hasil atau Mudhorobah sejak dulu, hal ini dapat diketahui jika melihat riwayat cerita para Nabi, seperti cerita Nabi Musa AS yang menggembalakan domba milik mertuanya yang kala itu beliau belum diangkat sebagai Nabi, dan Nabi Muhammad SAW yang membiarkan tanah miliknya di kelola oleh orang lain.
Pada saat ini bagi hasil menjadi jalan keluar bagi lembaga keuangan yang mengalami kebangkrutan karena krisis global, karena sistem bunga yang diterapkan oleh lembaga keuangan dirasa tidak mampu memberikan efek yang maksimal bagi lembaga keuangan tersebut dan para nasabah.
Bagi hasil sendiri dapat menjadi solusi untuk para pemilik modal yang tidak dapat mengelola usaha atau profit lainnya, dalam skala kecil seperti penggarapan tanah, bagi hasil memberikan efek yang cukup signifikan, dikarenakan tidak semua pemilik tanah mengerti atau faham bagaimana mengelola tanah yang ia miliki dengan baik dan benar, dalam bentuk ini ada syarat yang harus dipenuhi dalam bagi hasil antara lain:
  1. Pemilik, ialah orang atau badan hukum yang berdasarkan sesuatu hak menguasai tanah,
  2. Penggarap, ialah orang atau kelompok tani yang diperkenankan oleh pemilik tersebut untuk menyelenggarakan usaha pertanian diatas tanah pemilik,
  3. Tanah, ialah tanah yang biasanya dipergunakan untuk penanaman bahan makanan,
  4. Perjanjian, ialah ketentuan yang disepakati oleh kedua belah pihak yaitu pemilik dan penggarap yang menyangkut pembagian hasil dan lain – lain.
Mengenai besarnya bagian yang menjadi hak masing-masing fihak tidak ada keseragaman, karena hal itu tergantung pada jumlahnya tanah yang tersedia, banyaknya penggarap yang menginginkannya, keadaan kesuburan tanah, kekuatan kedudukan pemilik dalam masyarakat setempat/sedaerah dan lain-lainnya. Berhubung dengan kenyataan, bahwa umumnya tanah yang tersedia tidak banyak, sedang jumlah orang yang ingin menjadi penggarapnya sangat besar, maka seringkali terpaksalah penggarap menerima syarat-syarat perjanjian yang memberi hak kepadanya atas bagian yang sangat tidak sesuai dengan tenaga dan biaya yang telah dipergunakannya untuk mengusahakan tanah yang bersangkutan. Lain dari pada itu perjanjian tersebut menuntut hukumnya umumnya hanya berlaku selama jangka waktu satu tahun yang kemudian atas persetujuan kedua belah fihak dapat dilanjutkan lagi atau diperbaharui. Tetapi berlangsungnya perjanjian itu umumnya hanyalah tergantung semata-mata pada kesediaan yang berhak atas tanah, hingga bagi penggarap tidak ada jaminan akan memperoleh tanah garapan selama waktu yang layak. Hal inipun, kecuali berpengaruh pada pemeliharaan kesuburan tanahnya, menjadi sebab pula mengapa penggarap seringkali bersedia menerima syarat-syarat yang berat dan tidak adil. Akhirnya oleh karena jarang sekali perjanjian bagi hasil itu dilakukan secara tertulis dan menurut hukumnya juga tidak ada keharusan untuk dibuatnya dimuka pejabat-pejabat adat setempat, maka seringkali terdapat keragu-raguan, yang menimbulkan perselisihan-perselisihan antara pemilik dan penggarap.

2.      Landasan Hukum Bagi Hasil
Bagi hasil diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1960 Tentang Perjanjian Bagi Hasil. Diadakan Undang-undang ini adalah untuk  mengatur perjanjian pengusahaan tanah dengan bagi-hasil, agar pembagian hasil tanahnya antara pemilik dan penggarap dilakukan atas dasar yang adil dan agar terjamin pula kedudukan hukum yang layak bagi para penggarap itu, dengan menegaskan hak-hak dan kewajiban-kewajiban baik dari penggarapan maupun pemilik.
Dalam rangka usaha akan melindungi golongan yang ekonominya, lemah terhadap praktek-praktek yang sangat merugikan mereka, dari golongan yang kuat sebagaimana halnya dengan hubungan perjanjian bagi hasil yang diuraikan diatas, maka dalam bidang agraria diadakanlah Undang-undang ini, yang bertujuan mengatur perjanjian bagi hasil tersebut dengan maksud :
  1. agar pembagian hasil tanah antara pemilik dan penggarapnya dilakukan atas dasar yang adil dan
  2. dengan menegaskan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari pemilik dan penggarap, agar terjamin pula kedudukan hukum yang layak bagi para penggarap, yang biasanya dalam perjanjian bagi hasil itu berada dalam kedudukan yang tidak kuat, yaitu karena umumnya tanah yang tersedia tidak banyak, sedang jumlah orang yang ingin menjadi penggarapnya adalah sangat besar.
  3. dengan terselenggaranya apa yang tersebut pada a dan b diatas, maka akan bertambahlah kegembiraan bekerja pada para petani - penggarap, hal mana akan berpengaruh baik pada caranya memelihara kesuburan dan mengusahakan tanahnya. Hal itu tentu akan berpengaruh baik pula pada produksi tanah yang bersangkutan, yang berarti suatu langkah maju dalam melaksanakan program akan melengkapi "sandang-pangan" rakyat.
Dengan diadakannya peraturan ini maka lembaga bagi hasil yang didalam susunan masyarakat pertanian kita sebagai sekarang ini pada kenyataannya masih hidup dan mempunyai segi-segi sosial maupun ekonomis yang tidak dapat dengan sekaligus diganti dan dilenyapkan akan dapat dipergunakan dan dilangsungkan sesuai dengan fungsinya dalam masyarakat karena akan dapat diakhiri dan dicegah penyalahgunaan dalam penyelenggaraannya.

0 komentar:

Posting Komentar