RSS Feed

Total Tayangan Halaman

Rabu, 07 Desember 2011

filsafat umum

BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Pengertian Filsafat

Filsafat berasal dari kata Yunani “Philos dan Sophia”.  Philos artinya senang, cinta, gemar dan Sophia artinya hikmat atau kebenaran, kebijaksanaan. Philosophia artinya cinta atau gemar, senang  pada kebenaran atau hikmat serta kebijaksanaan.
Jadi seorang filsuf adalah orang yang cinta pada hikmat dan orang yang cinta akan hikmat akan selalu membela kebenaran dengan menggunakan logikanya secara bijaksana. Seorang ahli filsafat adalah orang yang bijaksana dengan penuh wisdom.
Filsafat adalah induk ilmu pengetahuan. Istilah filsafat telah dikenal manusia sejak 2000 tahun yang lalu, pada masa Yunani Kuno, di Miletos, Asia Kecil, tempat perantauan orang Yunani. Disanalah awal mula munculnya filsafat. Mula-mula jejak sejarah awal filsafat ini, ditandai dengan munculnya tokoh-tokoh pemikir besar seperti Thales, Anaximadros, Anaximenes. Thales adalah orang pertama yang mempersoalkan substansoi terdalam dari segala sesuatu. Dan dari situlah muncul pengertian kebenaran  yang hakiki.

Para filsuf kuno yang datang kemudian seperti Heraclitus, Permenides, Zeno, Demokritus dan yang lainnya asyik dalam perburuan yang tidak bertepi itu. Kemudian sampailah pada zaman Socrates yang hidup sekitar abad ke-4 sebelum masehi. Sang “tokoh abadi” ini, telah mengubah jalannya sejarah filsafat. Dialah Filsuf pertama yang membumikan filsafat dari penjelajahannya di “awang –awang”.

Kenalilah dirimu sendiri. Siapakah kita ini, mahluk kecil yang tampak tiada bermakna ditengah alam raya yang maha luas?.” Pertanyaannya besar yang diajukan Socrates ini menjadi arena perburuan baru pemikiran filsafat yang dating kemudian. Dilanjutkan oleh muridnya Plato, lalu Aristoteles dan akhirnya berkembang hingga cabang-cabangnya yang terkecil, sejak masa filsafat yang pertama masa abad pertengahan, hingga alam pikiran filsuf modern.

Dari Orientasi pemikiran terhadap diri manusia inilah, muncul orientasi pemikiran terhadap segala alam yang berwujud, untuk diabadikan bagi pemenuhan kebutuhan manusia. Dan tampaklah sebagaimana kita lihat kini, munculnya ilmu-ilmu pengetahuan yang  khusus beserta implementasinya yang berujud teknologi. Peletak dasar ilmu-ilmu yang positif, science sains dan teknologi adalah para filsuf.

1.2  Sejarah Perkembangan Pemikiran Filsafat
       1.2.1  Sejarah Perkembangan Pemikiran Yunani Kuno: Dari Mitos ke
   

       Secara historis kelahiran dan perkembangan pemikiran Yunani Kuno (sistem
       berpikir) tidak dapat dilepaskan dari keberadaan kelahiran dan perkembangan
       filsafat, dalam hal ini adalah sejarah filsafat. Dalam tradisi sejarah filsafat
       mengenal 3 (tiga) tradisi besar sejarah, yakni tradisi:
       (1) Sejarah Filsafat India (sekitar2000 SM – dewasa ini),
       (2) Sejarah Filsafat Cina (sekitar 600 SM – dewasa ini),
       (3) Sejarah Filsafat Barat (sekitar 600 SM – dewasa ini).

Dari ketiga tradisi sejarah tersebut di atas, tradisi Sejarah Filsafat Barat adalah basis kelahiran dan perkembangan ilmu (scientiae/science/sain) sebagaimana yang kita kenal sekarang ini. Titik-tolak dan orientasi sejarah filsafat baik yang diperlihatkan dalam tradisi Sejarah Filsafat India maupun Cina disatu pihak dan Sejarah Filsafat Barat dilain pihak, yakni semenjak periodesasi awal sudah memperlihatkan titik-tolak dan orientasi sejarah yang berbeda. Pada tradisi Sejarah Fisafat India dan Cina, lebih memperlihatkan perhatiannya yang besar pada masalah-masalah keagamaan, moral/etika dan cara-cara/kiat untuk mencapai keselamatan hidup manusia di dunia dan kelak keselamatan sesudah kematian.

Sedangkan pada tradisi Sejarah Filsafat Barat semenjak periodesasi awalnya (YunaniKuno/Klasik: 600 SM – 400 SM), para pemikir pada masa itu sudah mulai mempermasalahkan dan mencari unsur induk (arché) yang dianggap sebagai asal mula segala sesatu/semesta alam Sebagaimana yang dikemukakan oleh Thales (sekitar 600 SM) bahwa “air” merupakan arché, sedangkan Anaximander (sekitar 610 -540 SM) berpendapat arché adalah sesuatu “yang tak terbatas”, Anaximenes (sekitar 585 – 525 SM berpendapat “udara” yang merupakan unsur induk dari segala sesuatu. Nama penting lain pada periode ini adalah Herakleitos (± 500 SM) dan Parmenides (515 – 440 SM), Herakleitos mengemukakan bahwa segala sesuatu itu “mengalir” (“panta rhei”) bahwa segala sesuatu itu berubah terus menerus/perubahan sedangkan Parmenides menyatakan bahwa segala sesuatu itu justru sebagai sesuatu yang tetap (tidak berubah).
Lain lagi Pythagoras (sekitar 500 SM) berpendapat bahwa segala sesuatu itu terdiri dari “bilangan-bilangan”: struktur dasar kenyataan itu tidak lain adalah “ritme”, dan Pythagoraslah orang pertama yang menyebut/memperkenalkan dirinya sebagai sorang “filsuf”, yakni seseorang yang selalu bersedia/mencinta untuk menggapai kebenaran melalui berpikir/bermenung secara kritis dan radikal (radix) secara terus-menerus.
Yang hendak dikatakan disini adalah hal upaya mencari unsur induk segala sesuatu (arche), itulah momentum awal sejarah yang telah membongkar periode myte (mythos/mitologi) yang mengungkung pemikiran manusia pada masa itu kearah rasionalitas (logos) dengan suatu metode berpikir untuk mencari sebab awal dari segala sesuatu dengan merunut dari hubungan kausalitasnya (sebab-akibat).
Jadi unsur penting berpikir ilmiah sudah mulai dipakai, yakni: rasio dan logika (konsekuensi). Meskipun tentu saja ini arché yang dikemukakan para filsuf tadi masih bersifat spekulatif dalam arti masih belum dikembangkan lebih lanjut dengan melakukan pembuktian (verifikasi) melalui observasi maupun eksperimen (metode) dalam kenyataan (empiris), tetapi prosedur berpikir untuk menemukannya melalui suatu bentuk berpikir sebab-akibat secara rasional itulah yang patut dicatat sebagai suatu arah baru dalam sejarah pemikiran manusia. Hubungan sebab-akibat inilah yang dalam ilmu pengetahuan disebut sebagai hukum (ilmiah). Singkatnya, hukum ilmiah atau hubungan sebab-akibat merupakan obyek material utama dari ilmu pengetahuan.
Demikian pula kelak dengan tradisi melakukan verifikasi melalui observasi dan eksperimen secara berulangkali dihasilkan teori ilmiah.
Zaman keemasan/puncak dari filsafat Yunani Kuno/Klasik, dicapai pada masa
Sokrates (± 470 – 400 SM), Plato (428-348 SM) dan Aristoteles (384-322 SM).
Sokrates sebagai guru dari Plato maupun tidak meninggalkan karya tulis satupun dari hasil pemikirannya, tetapi pemikiran-pemikirannya secara tidak langsung banyak dikemukakan dalam tulisan-tulisan para pemikir Yunani lainnya tetapi terutama ditemukan dalam karya muridnya Plato. Filsafat Plato dikenal sebagai ideal (isme). Dalam hal ajarannya bahwa kenyataan itu tidak lain adalah proyeksi atau baying bayang/bayangan dari suatu dunia “ide” yang abadi belaka dan oleh karena itu yang ada nyata adalah “ide” itu sendiri. Filsafat Plato juga merupakan jalan tengah dari ajaran Herakleitos dan Parmenides. Dunia “ide” itulah yang tetap tidak berubah/abadi sedangkan kenyataan yang dapat diobservasi sebagai sesuatu yang senantiasa berubah. Karya-Karya lainnya dari Plato sangat dalam dan luas meliputi logika, epistemologi, antropologi (metafisika), teologi, etika, estetika, politik, ontologi dan filsafat alam.

Sedangkan Aristoteles sebagai murid Plato, dalam banyak hal sering tidak setuju/berlawanan dengan apa yang diperoleh dari gurunya (Plato). Bagi Aristoteles “ide” bukanlah terletak dalam dunia “abadi” sebagaimana yang dikemukakan oleh Plato, tetapi justru terletak pada kenyataan/benda-benda itu sendiri. Setiap benda mempunyai dua unsur yang tidak dapat dipisahkan, yaitu materi (“hylé”) dan bentuk (“morfé”). Lebih jauh bahkan dikatakan bahwa “ide” tidak dapat dilepaskan atau dikatakan tanpa materi, sedangkan presentasi materi mestilah dengan bentuk. Dengan demikian maka bentuk-bentuk “bertindak” di dalam materi, artinya bentuk memberikan kenyataan kepada materi dan sekaligus adalah tujuan (finalis) dari materi. Aristoteles menulis banyak bidang, meliputi logika, etika, politik, metafisika, psikologi dan ilmu alam. Pemikiran-emikirannya yang sistematis tersebut banyak menyumbang kepada perkembangan ilmu pengetahuan.

1.2.2  Jaman Patristik dan Skolastik: Filsafat Dalam dan Untuk Agama

Pada jaman ini dikenal sebagai Abad Pertengahan (400-1500 ). Filsafat pada abad ini dikuasai dengan pemikiran keagamaan (Kristiani). Puncak filsafat Kristiani ini adalah Patristik (Lt. “Patres”/Bapa-bapa Gereja) dan Skolastik Patristik sendiri dibagi atas Patristik Yunani (atau Patristik Timur) dan Patristik Latin (atau Patristik Barat).
Tokoh-tokoh Patristik Yunani ini anatara lain Clemens dari Alexandria (150-215),
Origenes (185-254), Gregorius dari Naziane (330-390), Basilius (330-379). Tokoh tokoh dari Patristik Latin antara lain Hilarius (315-367), Ambrosius (339-397),
Hieronymus (347-420) dan Augustinus (354-430). Ajaran-ajaran dari para Bapa
Gereja ini adalah falsafi-teologis, yang pada intinya ajaran ini ingin memperlihatkan bahwa iman sesuai dengan pikiran-pikiran paling dalam dari manusia. Ajaran-ajaran ini banyak pengaruh dari Plotinos. Pada masa ini dapat dikatakan era filsafat yang berlandaskan akal-budi “diabdikan” untuk dogma agama. Jaman Skolastik (sekitar tahun 1000), pengaruh Plotinus diambil alih oleh Aristoteles. Pemikiran-pemikiran Ariestoteles kembali dikenal dalam karya beberapa filsuf Yahudi maupun Islam, terutama melalui Avicena (Ibn. Sina, 980-1037), Averroes (Ibn. Rushd, 1126-1198) dan Maimonides (1135-1204). Pengaruh Aristoteles demikian besar sehingga ia (Aristoteles) disebut sebagai “Sang Filsuf” sedangkan Averroes yang banyak membahas karya Aristoteles dijuluki sebagai “Sang Komentator”. Pertemuan pemikiran Aristoteles dengan iman Kristiani menghasilkan filsuf penting sebagian besar dari ordo baru yang lahir pada masa Abad Pertengahan, yaitu, dari ordo Dominikan dan Fransiskan.. Filsafatnya disebut “Skolastik” (Lt. “scholasticus”, “guru”), karena pada periode ini filsafat diajarkan dalam sekolah sekolah biara dan universitas-universitas menurut suatu kurikulum yang baku dan bersifat internasional. Inti ajaran ini bertema pokok bahwa ada hubungan antara iman dengan akal budi. Pada masa ini filsafat mulai ambil jarak dengan agama, dengan melihat sebagai suatu kesetaraan antara satu dengan yang lain (Agama dengan Filsafat) bukan yang satu mengabdi” terhadap yang lain atau sebaliknya. Sampai dengan di penghujung Abad pertengahan sebagai abad yang kurang kondusif terhadap perkembangan ilmu, dapatlah diingat dengan nasib seorang astronom berkebangsaan Polandia N. Copernicus yang dihukum kurungan seumur hidup oleh otoritas Gereja, ketika mengemukakan temuannya tentang pusat peredaran benda benda
angkasa adalah matahari (Heleosentrisme). Teori ini dianggap oleh otoritas
Gereja sebagai bertentangan dengan teori geosentrisme (Bumi sebagai pusat
peredaran benda-benda angkasa) yang dikemukakan oleh Ptolomeus semenjak jaman Yunani yang justru telah mendapat “mandat” dari otoritas Gereja. Oleh karena itu dianggap menjatuhkan kewibawaan Gereja.

1.2.3. Jaman Modern: Lahir dan Berkembangan Tradisi Ilmu Pengetahuan

Jembatan antara Abad pertengahan dan Jaman Modern adalah jaman “Renesanse”, periode sekitar 1400-1600. Filsuf-filsuf penting dari jaman ini adalah N. Macchiavelli (1469-1527), Th. Hobbes (1588-1679), Th. More (1478-1535) dan Frc. Bacon (1561-1626). Pembaharuan yang sangat bermakna pada jaman ini ((renesanse) adalah“antroposentrisme”nya. Artinya pusat perhatian pemikiran tidak lagi kosmos seperti pada jaman Yunani Kuno, atau Tuhan sebagaimana dalam Abad Pertengahan.

Setelah Renesanse mulailah jaman Barok, pada jaman ini tradisi rasionalisme
ditumbuh-kembangkan oleh filsuf-filsuf antara lain; R. Descartes (1596-1650),
B.Spinoza (1632-1677) dan G. Leibniz (1646-1710). Para Filsuf tersebut di atas
menekankan pentingnya kemungkinan-kemungkinan akal-budi (“ratio”) didalam
mengembangkan pengetahuan manusia.
Pada abad kedelapan belas mulai memasuki perkembangan baru. Setelah reformasi, renesanse dan setelah rasionalisme jaman Barok, pemikiran manusia mulai dianggap telah “dewasa”. Periode sejarah perkembangan pemikiran filsafat disebut sebagai “Jaman Pencerahan” atau “Fajar Budi” (Ing. “Enlightenment”, Jrm. “Aufklärung”.


















BAB II
ZAMAN FAJAR BUDI (1700-1750 M)

Pada abad kedelapan belas di Eropa merupakan “zaman fajar budi “. Zaman “pencerahan” atau “penerangan” (dalam bahasa Inggris Enlightment, dalam bahasa Jerman Aufklarung). Zaman fajar budi sangat optimistis. Setelah semua perkembangan dalam renaissance, reformasi dan zaman rasionalisme, setelah semua perubahan dalam hidup intelektual dan sosial, manusia sekarang dianggap “dewasa”. Orang mengira bahwa berkat rasio semua soal dapat dipecahkan. Kata-kata kunci yang dilontarkan pada zaman fajar budi itu “rasio”, “empiris”, toleransi”, dan “persaudaraan duniawi”.
Pada zaman ini muncul filsuf-filsuf penting. Di Perancis: J.J Rousseu, di Jerman : Immanuel Kant.  Sedangkan di Inggris: John Locke, George Berkeley, dan David Hume. Filsuf-filsuf pada zaman ini disebut sebagai para “empirikus”, yang ajarannya lebih menekankan bahwa suatu pengetahuan melalui adanya pengalaman inderawi manusia (dalam bahasa Latin, “empeira”, “pengalaman”).

Aliran Empirisme
Empirisme adalah aliran yang berpendirian bahwa semua pengetahuan manusia diperoleh melalui pengalaman indra memperoleh pengalaman (kesan-kesan) dari alam Empiris, selanjutnya kesan-kesan tersebut terkumpul dalam diri manusia sehingga menjadi pengalaman. Tokoh-tokoh Empiris antara lain adalah sebagai berikut :
1. John Locke (1632-1704);
Catatan biografi
- Tahun 1632: lahir pada tanggal 29 Agustus di Wrington / Somerset
- Tahun 1652: bekerja di Oxford
- Tahun 1662: mengajar di filosofi di Oxford, polemik mengenai toleransi
- Tahun 1667: pindah ke London dan melayani Tuhan Earl of Shaftesbury
- Tahun 1668: Anggota Royal Society dengan kontribusi di bidang ekonomi dan            ilmu alam
- Tahun 1675: tinggal di Prancis.
- Tahun 1679: kembali ke London
- Tahun 1683: beremigrasi ke Belanda karena konflik politik
- Tahun 1689: kembali ke Inggris, menolak posisi pemerintah
- Tahun 1689: Epistola de tolerantia diterbitkan, dan An Essay Concerning Human Understanding.
- Tahun 1690: Dua tratises diterbitkan Pemerintah
- Tahun 1704: mati di Oates / Essex pada tanggal 28 Oktober

Kritik pada Doktrin Cartesian (Ide bawaan)
Locke tidak setuju pada doktrin Cartesian yang berasal pengetahuan kita dari prinsip apriori dalam akal manusia. Menurut dia alasan kita harus dianggap sebagai kertas putih kosong (tabula rasa) yang diisi dengan pengalaman rasa-data atau empiris.  Descartes tidak menyebar konten mereka sendiri, karena mereka berasal dari persepsi kita dan sensasi. Bagaimana kita tahu meja seperti itu?
Menurut rasionalis menjawab bahwa meja tersebut sudah ada dalam kepala kita sebagai suatu gagasan. Tanpa ide meja (ekstensi) realitas eksternal tampaknya kita sebagai lanskap kacau. Struktur gagasan itu sebagai bentuk meja.
Para empiris menemukan jawaban lain: Kita tidak dapat memiliki gagasan mejadi kepala kita, jika kita tidak menyentuh atau pengalaman meja di luar kepala kita. Tujuan dunia nyata dan tidak hanya konstruksi rasional kita. Itu ada, oleh karena itu memiliki status ontologism.
1. Meja ini dirasakan oleh indera kita, maka eksternalitas dari hal material adalah    objek SENSASI kita, sedangkan pengoperasian pikiran kita mengetahui itu disebut Refleksi.
2. Dari pengertian-data kita mendapatkan ide-ide pikiran yang sederhana kami    seperti ‘coklat’, ‘kayu’, ‘besar’ atau ‘meja’.
3. Kami juga mengamati berbagai jenis tabel sehingga kita mendapatkan di dalam pikiran kita beberapa ide sederhana dari meja.
4. Dari ide-ide sederhana pikiran kita menghubungkan mereka. Proses ini disebut “abstraksi”.
5. Hasil abstraksi adalah ide-ide yang kompleks seperti “substansi”, “hubungan” atau “modus”.

Primer dan sekunder Kualitas Obyek
Locke membuat perbedaan penting antara kualitas primer dan sekunder.
Kualitas primer adalah sisi objektif dari suatu obyek yang diamati seperti, gerakan wideness atau massa. Mereka melekat dalam objek.
Tetapi kualitas-kualitas sekunder adalah sisi subjektif dari sebuah objek yang diamati. Mereka adalah kondisi dari subjek yang mengamati sendiri seperti ‘manis’, ‘kemerahan’, ‘hangat’, dll.

Dengan pandangannya tentang kualitas-kualitas primer Locke berasumsi bahwa dunia luar kita ada obyektif dan eksternal untuk kita. Hal ini tidak hanya konstruksi rasional kita atau imajinasi kita. Itu nyata dan memiliki status ontologis sebagai makhluk materi.
2. David Hume (1711-1776); yang meneruskan tradisi Empirisme. Aliran empririsme nyata dalam pemikiran David Hume (1711-1776), yang memilih pengalaman sebagai sumber utama pengetahuan.  Pengalaman itu dapat yang b
ersifat lahirilah (yang menyangkut dunia), maupun yang batiniah (yang menyangkut pribadi manusia). Oleh karena itu pengenalan inderawi merupakan bentuk pengenalan yang paling jelas dan sempurna.
Dua hal dicermati oleh Hume, yaitu substansi dan kausalitas. Hume tidak menerima substansi, sebab yang dialami hanya kesan-kesan saja tentang beberapa ciri yang selalu ada bersama-sama.  Dari kesan muncul gagasan. Kesan adalah hasil penginderaan langsung, sedang gagasan adalah ingatan akan kesan-kesan seperti itu. Misal kualami kesan: putih, licin, ringan, tipis. Atas dasar pengalaman itu tidak dapat disimpulkan, bahwa ada substansi tetap yang misalnya disebut kertas, yang memiliki ciri-ciri tadi. Bahwa di dunia ada realitas kertas, diterima oleh Hume. Namun dari kesan itu mengapa muncul gagasan kertas, dan bukan yang lainnya? Bagi Hume, "aku" tidak lain hanyalah "a bundle or collection of perceptions (= kesadaran tertentu)".
Kausalitas.  Jika gejala tertentu diikuti oleh gejala lainnya, misal batu yang disinari matahari menjadi panas, kesimpulan itu tidak berdasarkan pengalaman.  Pengalaman hanya memberi kita urutan gejala, tetapi tidak memperlihatkan kepada kita urutan sebab-akibat.  Yang disebut kepastian hanya mengungkapkan harapan kita saja dan tidak boleh dimengerti lebih dari "probable" (berpeluang).  Maka Hume menolak kausalitas, sebab harapan bahwa sesuatu mengikuti yang lain tidak melekat pada hal-hal itu sendiri, namun hanya dalam gagasan kita.  Hukum alam adalah hukum alam.  Jika kita bicara tentang "hukum alam" atau "sebab-akibat", sebenarnya kita membicarakan apa yang kita harapkan, yang merupakan gagasan kita saja, yang lebih didikte oleh kebiasaan atau perasaan kita saja.
Hume merupakan pelopor para empirisis, yang percaya bahwa seluruh pengetahuan tentang dunia berasal dari indera.  Menurut Hume ada batasan-batasan yang tegas tentang bagaimana kesimpulan dapat diambil melalui persepsi indera kita.
3. George Berkeley
Empirisme tidak membatasi dirinya dalam pengalaman indrawi. Konsep pengalaman dalam empirisme tidak mengecualikan pengalaman spiritual (George Berkeley).
Jadi, kita tidak bisa hanya mengalami panas api, tetapi juga gagasan tentang ‘panas’. Menurut Berkeley yang sedang dirasakan (Jesse est percipii), sehingga dunia kita hanyalah ide yang dirasakan.
Pengalaman religius seperti pengalaman “tremendum” dan “fascinosum” (Rudolf Otto) juga pengalaman yang termasuk dalam kategori empiris.
George Berkeley (1685-1753) berpendapat bahwa kita tidak melihat objek di luar pikiran kita, tetapi ide dalam pikiran kita.
Pernyataan terkenal Berkeley berarti bahwa menjadi (yaitu dunia eksternal), tetapi tampak. Jadi, dunia saya adalah dunia saya.

Aliran kristisisme
Kritisisme yang menyatakan bahwa akal menerima bahan–bahan pengetahuan dari empiris (yang meliputi indra dan pengalaman ). Kemudian akal menempatkan, mengatur dan menertibkan dalam bentuk –bentuk pengamatan yakni ruang dan waktu. Pengamatan merupakan pembentukannya. Tokoh-tokohnya adalah Immanuel Kant (1724-1804). Aliran kritisisme Kant tampaknya mensintensiskan antara rasionalisme dan empirisme. Dengan kritisisme Imanuel Kant mencoba mengembangkan suatu sintesis atas dua pendekatan yang bertentangan ini.  Kant berpendapat bahwa masing-masing pendekatan benar separuh, dan salah separuh.  Benarlah bahwa pengetahuan kita tentang dunia berasal dari indera kita, namun dalam akal kita ada faktor-faktor yang menentukan bagaimana kita memandang dunia sekitar kita.  Ada kondisi-kondisi tertentu dalam manusia yang ikut menentukan konsepsi manusia tentang dunia.  Kant setuju dengan Hume bahwa kita tidak mengetahui secara pasti seperti apa dunia "itu sendiri" ("das Ding an sich"), namun hanya dunia itu seperti tampak "bagiku", atau "bagi semua orang".  Namun, menurut Kant, ada dua unsur yang memberi sumbangan kepada pengetahuan manusia tentang dunia.  Yang pertama adalah kondisi-kondisi lahirlah ruang dan waktu yang tidak dapat kita ketahui sebelum kita menangkapnya dengan indera kita.  Ruang dan waktu adalah cara pandang dan bukan atribut dari dunia fisik. Itu materi pengetahuan. Yang kedua adalah kondisi-kondisi batiniah dalam manusia mengenai proses-proses yang tunduk kepada hukum kausalitas yang tak terpatahkan. Ini bentuk pengetahuan.
Kritik atau rasio murni.  Dalam tulisan kritik atas rasio murni Kant membedakan tiga macam pengetahuan :
1.      pengetahuan analitis
2.      pengetahuan sintetis a-posterriori
3.      pengetahuan sintetis a-priori
Kritik atas rasio murni dilengkapi dengan kritik atas rasio praktis .kritik pertama  menjawab “apa yang dapat saya ketahui ?”, kritik kedua menjawab pertanyaan
“apa yang harus saya buat ?”, tindakan saya berdasarkan macam-macam kaidah. Kant membedakan :
1.      Maksim-maksim: kaidah yang berlaku secara subjektif .
2.      Undang-undang : kaidah-kaidah yang berlaku secara umum , objektif
3.      Imperatif hipotetis :berlaku secara umum sebagai syarat untuk mencapai sesuatu , kalau mau “X” lalu harus dilakukan “Y”.
4.      Impoeratif kategoris: berlaku secara umum, selalu dan dimana-mana (H. Hamersma , 1990:52 ).
Kritik atas daya pertimbangan.  Kritik ketiga dari Kant berbicara tentang peranan perasaan dan fantasi. Kritik atas daya pertimbangan dimaksudkan sebagai jembatan antara kedua kritik lain. Seorang hakim kata Kant, memutuskan bagaimana yang umum (undang-undang) berlaku dalam situasi khusus (terdakwa), maka dia mencari titik temu antara yang umum dan yang khusus.
Kita juga bertindak demikian, terutama dalam fantasi dan perasaan. Kita memutuskan apakah suatu objek (yang khusus) cocok dengan kaidah-kaidah umum didalam kita .kita “memutuskan” apakah sesuatu “berguna”, “indah”, “enak”, atau “baik”. Di dalam kita ada kaidah-kaidah yang dihubungkan dengan unsur-unsur dari luar juga. Disini terdapat suatu sintesis, suatu pertemuan antara sesuatu dari dalam dan sesuatu dari luar.  Ketiga kritik dari Kant memperlihatkan tiga parallel, yaitu :
1.      kritik pertama :sintesis pengalaman indrawi dan akal .
2.      kritik kedua :sintesis tindakan pribadi dan kaidah-kaidah umum .
3.      kritik ketiga :sintesis kesan-kesan dari luar dan penilaian subjektif.
Demikian Kant membuat kritik atas seluruh pemikiran filsafat, membuat suatu sintesis, dan meletakkan dasar bagi aneka aliran filsafat masa kini.















BAB III
KESIMPULAN

Filsafat zaman modern berfokus pada manusia, bukan kosmos (seperti pada zaman kuno), atau Tuhan (pada abad pertengahan).  Dalam zaman modern ada periode yang disebut Renaissance ("kelahiran kembali"). Kebudayaan klasik warisan Yunani-Romawi dicermati dan dihidupkan kembali; seni dan filsafat mencari inspirasi dari sana.  Filsuf penting adalah N Macchiavelli (1469-1527), Thoman Hobbes (1588-1679), Thomas More (1478-1535) dan Francis Bacon (1561-1626).  Periode kedua adalah zaman Barok, yang menekankan akal budi.  Sistem filsafatnya juga menggunakan menggunakan matematika. Para filsuf periode ini adalah Rene Descrates, Barukh de Spinoza (1632-1677) dan Gottfried Wilhelm  Leibniz (1646-1710).  Periode ketiga ditandai dengan fajar budi ("enlightenment" atau "Aufklarung").  Para filsuf katagori ini adalah John Locke (1632-1704), G Berkeley (1684-1753), David Hume (1711-1776).  Dalam katagori ini juga dimasukkan Jean-Jacques Rousseau (1712-1778) dan Immanuel Kant. Di jaman fajar budi lah muncul pemikiran-pemikiran yang dijadikan dasar bagi filsafat masa kini.
Dewasa ini  tugas filsuf belum selesai. Buah filsafat yang telah dinikmati manusia modern, banyak kekuatiran justru bakal mendatangkan bencana dikemudian hari, bila tidak mendapatkan arahan kebijaksanaan yang tepat. Filsafat kini mendapatkan lahannya yang baru. Mungkin harus bergandeng tangan dengan agama, disamping harus pula dengan ilmu-ilmu positif itu sendiri.

0 komentar:

Posting Komentar